Rabu, 11 Juni 2008

GENESIS ESAI DAN KRITIK SASTRA KITA

Esai adalah karangan dalam bentuk prosa yang membahas masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya. Sebagai salah satu bentuk penulisan, esai mengenai sastra Indonesia mulai dikenal luas sejak tahun 1930-an, yaitu setelah diterbitkannya majalah Pujangga Baru. Akan tetapi, pemunculan esai sastra yang paling awal masih dapat ditelusuri jauh sebelum penerbitan majalah tersebut. Misalnya, pada tahun 1925, Kwe Tek Hoay dalam surat kabar harian yang dipimpinnya, Sin Bin, menerbitkan serangkaian esai mengenai Sair Siti Akbari karya Lie Kim Hok, yang ia bandingkan dengan Syair Abdul Muluk atau lima tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 1920 dalam majalah Jong Sumatra, Muhammad Yamin menulis esai dengan judul "Sejarah Melayu".
Penyebutan tahun sebagai titik tolak tumbuhnya esai akan semakin mundur ke
belakang apabila kita terus menelusuri surat kabar atau majalah yang pernah terbit di Indonesia. Hal itu menyiratkan bahwa tradisi esai dapat sejalan dengan tradisi surat kabar dan majalah di Indonesia sebab esai sering kali dijadikan salah satu rubrik yang ada dalam kedua media tersebut.
Esai mengenai sastra di Indonesia selanjutnya berkembang tidak hanya dalam media majalah dan surat kabar, melainkan juga di berbagai wadah dan media lainnya. Wadah itu tidak terbatas pada tempat resmi seperti sekolah dan perguruan tinggi, melainkan juga dalam diskusi-diskusi di suatu sanggar atau di rumah seorang esais dan kritikus. Misalnya, hal itu terjadi pada para pengarang generasi majalah Kisah (terbit 1953—1957) di Jakarta dan kelompok PSK (Persada Studi Klub) pada tahun 1970-an di Yogyakarta.
Media elektronik seperti radio dan televisi, meskipun tidak sekerap media cetak, dapat juga menjadi sarana efektif, terutama dalam membicarakan persoalan aktual dalam dunia sastra, tak terkecuali esai sastra. Contoh kongkret esai sastra yang dibacakan di media elektronik adalah pidato-pidato radio yang pernah dibacakan Chairil Anwar di corong radio sekitar tahun 1940-an. Kemudian, dengan kemajuan media elektronik zaman kini, yaitu dengan komputer dan internetnya, manusia dengan mudah dapat menembus dunia informasi tentang berbagai hal, yang sebagiannya dapat dilakukan secara interaktif. Kecanggihan media ini pun sudah tentu dapat dimanfaatkan untuk mengakses segala hal yang berhubungan dengan dunia sastra. Situs demikian, dapat kita sebut, misalnya Cybersastra.
Meskipun telah disebutkan bahwa esai sastra dikenal luas setelah terbitnya majalah Pujangga Baru, esai yang membahas sastra Indonesia modern sudah muncul dalam majalah sebelumnya, yaitu majalah Panji Pustaka pada tahun 1932 yang ditulis oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Esai tersebut, yang berisi tentangi asas-asas dan fungsi kritik sastra, untuk sementara dapat dianggap sebagai esai pertama tentang kritik sastra Indonesia modern.
Apabila kita telaah lebih lanjut, esai Takdir sebenarnya merupakan tanggapan terhadap esai yang dimuat di media lainnya, yaitu surat kabar Suara Umum (terbitan 25 Juni 1932). Fenomena yang demikian, yaitu tersebarnya esai sastra dalam majalah dan surat kabar, masih terjadi hingga saat ini. Kita dapat menyebutkan bahwa buku-buku yang berisi esai sastra Indonesia, kerap kali bersumber dari surat kabar dan majalah. Misalnya, buku-buku tulisan H.B. Jassin seperti Tifa Penyair dan Daerahnya merupakan antologi esai mengenai teori sastra yang berasal dari majalah mingguan Mimbar Indonesia selama tahun 1949. Demikian pula buku Jassin lainnya, seperti Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (jilid I--IV), Analisa, dan Sastra Indonesia dan Perjuangan Bangsa sebagian besar berasal dari surat kabar dan majalah.
Penyebaran esai sastra dalam media surat kabar dan majalah memang tidak selalu terdapat dalam rubrik tetap sebab esai sebagai bentuk penulisan dapat diisi oleh persoalan apa saja. Biasanya, esai sastra akan muncul dalam surat kabar atau majalah yang memiliki wadah khusus, yaitu lampiran kesusastraan atau kebudayaan. Sehubungan dengan itu, kehadiran ruangan kesusastraan, misalnya "Untuk Memajukan Kesusastraan" dalam majalah Panji Pustaka pada tahun 1932 yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana dianggap Jassin sebagai suatu kejadian yang penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia sebab fungsinya sebagai wadah pembinaan kesusastraan Indonesia telah diteladani oleh surat kabar dan majalah yang terbit kemudian, seperti "Gelanggang" (lampiran kebudayaan majalah Siasat), "Persada" (Kompas), "Lentera" (Bintang Timur), dan "Genta" (Merdeka). Lampiran kebudayaan yang masih dapat kita baca dewasa ini, misalnya “Bentara” dalam Kompas atau"Khazanah" dalam surat kabar Pikiran Rakyat .
Fenomena lain mengenai pemunculan esai dewasa ini tampak dalam buku-buku antologi puisi, antologi cerpen, dan antologi kritik atau esai sastra itu sendiri. Esai-esai tersebut biasanya berfungsi sebagai pengantar buku atau catatan penutup. Misalnya, dalam antologi puisi Asmaradana karya Goenawan Mohamad terdapat esai penutup dari A. Teeuw dengan judul "Membikin Abadi yang Kelak Retak"; dalam kumpulan esai karangan Emha Ainun Nadjib, Terus Mencoba Budaya Tanding, terdapat esai pengantar dari Halim H.D. dengan judul "Fenomena Emha".
Untuk kepentingan didapatnya sosok tradisi sastra Indonesia, maka penelitian yang utuh dan menyeluruh perlu dilakukan, misalnya dengan meneliti esai sastra di berbagai wadah dan media, baik yang pernah maupun yang sedang berkembang di Indonesia. Terlebih-lebih, kebijakan pers dari pemerintah pun memberikan iklim yang kondusif sehingga media cetak maupun media elektronik menjadi wilayah strategis untuk penelitian tradisi esai sastra kita.
Namun sebelum kita beranjak lebih jauh mengenai esai sastra di surat kabar dan majalah, tampaknya kita juga perlu menyinggung satu istilah lain yang kadang-kadang sulit dibedakan dengan esai sastra, yaitu kritik sastra. Kesulitan ini tampaknya disadari oleh kritikus besar kita, H.B. Jassin, sehingga dalam bukunya, Kesusastraan Indonesia dalam Kritik dan Esai, ia tidak membedakan dengan tegas mana tulisan dalam bentuk esai dan mana dalam bentuk kritik.
Dalam awal pertumbuhannya di Indonesia, esai dan kritik sastra memiliki kaitan yang sangat erat, bahkan Jassin mengawali tulisan mengenai kritik dengan kalimat, “Salah satu jenis esai ialah kritik”.
Dalam kerangka teoretis, misalnya Wellek (1978) dalam Concepts of Criticism membatasi bahwa kritik sastra merupakan studi karya sastra secara konkret dengan penekanan pada segi evaluasinya. Kritik sastra, bersama dengan sejarah dan teori sastra, merupakan cabang dari ilmu sastra, yang memiliki jalinan yang sangat erat. Teori sastra mempelajari prinsip, kategori, dan kriteria sastra, sedangkan kritik sastra dan sejarah sastra adalah studi karya-karya konkret. Meskipun demikian, teori sastra hanya dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra; sebaliknya, kritik sastra dan sejarah sastra tidak mungkin terwujud tanpa pemanfaatan seperangkat teori sastra.
Dalam awal perkembangannya, kritik sastra di Indonesia dianggap sebagai tulisan yang tidak pantas untuk diteladani. J.E. Tatengkeng, misalnya, dalam majalah Pujangga Baru terbitan tahun 1935 tampak rikuh ketika memberikan kritik terhadap puisi, sehingga dia harus berpanjang lebar menerangkan maksudnya. Dia menganggap, “kritik…dalam kalangan manapun selalu merusakkan, mematikan, berarti caci maki”. Oleh sebab itu, Tatengkeng lebih suka menggunakan istilah “penyelidikan” daripada isilah kritik. Peristiwa itu dapat menunjukkan bahwa kritik sastra di Indonesia belum mentradisi sebagai suatu kegiatan ilmiah dan akademis, terlebih-lebih sebagai salah satu bagian dari studi sastra. Dengan demikian, hal yang wajar ketika masyarakat merasakan perlu adanya orang-orang yang dapat menyaring karya sastra yang baik, tugas itu diembankan kepada penerbit dan wartawan karena pada waktu itu istilah “kritikus” belum berterima. Hal itu juga menandakan bahwa sistem kritik sastra pada saat itu belum dikenal di Indonesia.
Sungguhpun demikian, masyarakat nusantara sebenarnya bukan tidak mengenal dan tidak menerapkan kritik pada karya sastranya. Kritik sastra terdapat juga dalam kesusastraan nusantara, meskipun dalam bungkus yang berbeda. Walaupun oleh orang Indonesia atau Melayu kata kritik dianggap kasar, mereka tidak asing dengan kata “tegur”, “timbang”, “nilai”, “pandangan”, “pendapat”, “ulas”, “ukur”, dan “taksir”. Kata-kata tersebut tidak hanya termaktub dalam tulisan tentang sastra, melainkan juga dalam tradisi lisan, seperti peribahasa, pantun, syair, dan bidal.
Pemahaman kritik sebagai salah satu cabang dari studi sastra sebetulnya pun telah dirintis oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam majalah Panji Pustaka yang telah kita sebut itu (terbitan 5 Juli 1932), dia menguraikan fungsi atau guna kritik sastra. Akan tetapi, karena tulisan tersebut bersifat teoretis dan sang penulis tidak melanjutkan dengan praktik penerapannya, maka kritik sastra tersebut berlalu tanpa respons dari pembacanya.
Kritik sastra baru berterima dan memasyarakat berkat tulisan-tulisan H.B. Jassin, yang sekitar tahun 1940-an menulis di berbagai media massa, khususnya surat kabar dan majalah, mengenai sastra beserta ulasan-ulasannya. Tulisannya itu, kemudian diterbitkan ke dalam empat jilid buku, yang telah kita singgung di atas, yaitu Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai. Dalam judul buku tersebut tampak keeratan antara kritik dan esai sastra. Seperti telah dikatakan di atas, meskipun Jassin memunculkan kata esai dan kritik, dalam buku tersebut kedua kata itu tidak dibedakan dalam pembahasan. Hal itu mungkin karena Jassin berprinsip bahwa kedua kata itu memang tidak berbeda dari tataran isi, melainkan hanya dari tataran subordinasi, yaitu kritik bagian dari esai. Apabila uraian ini kita kaitkan dengan penjenisan esai, maka pendapat Jassin sesuai dengan pendapat Encyclopedia Americana yang memasukkan esai yang demikian ke dalam esai kritik.
Kini kritik sastra tidak asing lagi terdengar di telinga sebab kurikulum sekolah telah memperkenalkan konsep kritik sesuai dengan pemahaman studi sastra modern. Sebab lain adalah bertambahnya wawasan kesastraan kita yang terbentuk karena bacaan yang ditulis oleh para pakar sastra yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, khususnya di fakultas sastra.
Namun, satu hal penting yang harus selalu kita ingat adalah fungsi utama kritik, yaitu memajukan dunia sastra kita. Tiga puluh enam tahun yang lalu, Ali Sadikin, ketika itu Gubernur DKI Jaya, mensponsori pendirian majalah Budaya Jaya dengan menantang penulis dan redakturnya untuk tidak hanya menulis kritik sastra melainkan juga mengkritik pemerintah. Bang Ali yakin pada saat itu, “Hanya dengan kritik…kita dapat maju!”

Minggu, 08 Juni 2008

PUISI-PUISI SUMIYADI

GEMA ITU
aku tutup kedua kuping
ia semayam di bilik kalbu
aku kunci gerak lidahku
ia nyeruak jadi air bah

Bismillah!




PUISI UNTUK ANAK-ANAKKU

Anakku,
Rahim bunda serupa serambi surga
Maka, menangislah!
karena Tuhan
hanya memberi kenikmatan
sembilan bulan

Kini engkau mesti merambah
Belantara dunia, seperti dulu nenek kita:
Adam dan Hawa

Anakku,
Sekolah bukanlah sangkar besi
Maka, melesatlah! Kulepas engkau
dan jadilah rajawali
Terbang jauh, menggapai cita yang tinggi

Anakku,
Hidup adalah sekedar antrean panjang
Menunju arasy sang pencipta
Bawalah amalan salih dan bekal taqwa
Agar kalian kembali tiba
Di gerbang pintu surga


SKETSA
terlompat masuki gelap semesta
aku jadi anak asuh matahari
menelan cahaya demi cahaya
kuteguk saripati jagat raya

kini tengah kueja senjakala
hingga aku menjelma lentera
tak butuh bintang atawa bulan
sebab akulah sumber cahaya

namun minyak kian menipis
sumbu pun harus diganti
tapi yang ada cuma kunang
yang tertebar di tegal nisan


PANGGUNG

1
kami tengah setia menunggu godot
namun layar nampak kaku bak berbesi

kami manusia bebas tak berborgol
layar terkuak, penonton mainkan sebuah tonil

2

di mana sang aktor bersembunyi
panggung itu lengang, bangsal laiknya kamar mati

tapi penonton begitu asyik memaku diri di kursi-kursi
tahu, di benak ada tonil berbabak-babak tanpa henti


BURUNG LEMANGIT
dalam antrean miliar ruhani
di setiap jejak menetes keringat
namun aku tak pernah paham
kapan iring-iringan ini berakhir

di atas matahari bagai bola tenis
dan senja tak mau diajak kompromi

mestikah kuambil jalan pintas
menyusuri pantai
lewat kendara
yang kususun jadi bahtera?

jejak basahi bumi yang luka
keringat menjelma bulir darah
yang ngalir menuju pantai marwah

tibalah kini aku melihat beburung di cakrawala
mulutnya nembangkan lelagu kembara

kutahu kelana mengarungi letih

maka, kuputuskan!

tetap di antrean ruhani
sebelum terseret burung lemangit
yang siap dimangsa bedil pemburu

SYAIR KEMARAU
memandang sumurmu kekasih
aku tak tahu jarak mesti dititi
batu kucemplung berharap pendar air
namun yang tersimak cuma rerintih

menimba sumurmu kekasih
aku jadi ngerti makna letih
temali diulur kerek ditarik
namun yang terciduk seember angin

menggali sumurmu kekasih
aku jadi paham makna ngeri
ribuan kali bumi kulinggis
namun yang ngalir keringat sendiri

naik dari sumurmu kekasih
aku terkungkung jerit sendiri
ember harus kembali diganti
namun yang kuulur usus sendiri!

TRANSFER SAPI
kunikmati engkau di meja makan
di kertas plastik, di antara balutan
tepung terigu made in America

engkau dibesarkan gembala mana, aku tak tahu
engkau dipotong jagal siapa, aku tak tahu
tapi kunikmati engkau di meja makan
di kertas plastik, dan bistik buatan Prancis

aku pastikan engkau cemberut
sebab rumput penuh junk food sebab pisau
berbismillah listrik sebab nafasmu di ujung ban berjalan

engkau kepingin protes, marah, dan melenguh
tapi engkau kini tinggal di perut,
menyatu dengan darah dagingku

barangkali aku masih dapat membantu
dengan meninggikan tekanan darah
atau membuntukan jalan jantung

LAGU PARAGRAM
kaulah induk elang itu!
mencari pakan
dibentur runjam karang
dipatuk bedil pemburu
dijerat pukat kesepianku

tapi aku mengejarmu
untuk kulepas
dan aku bahagia

penuh keriangan seorang anak
yang menabur umpan
di kotak aquarium. Bukan!
tapi seperti Nero yang membakar kota Roma
lalu menadah air matanya
pada sloki kesunyian raja-raja

terbanglah menemu anakmu
dongengkan kisah 1001 malam
atau tentang Ratu Calypso
yang gagal menggoyah kesetiaan pahlawan
boleh juga tentang orang Amerika
yang terdampar di Casablanca

tapi jangan tentang nyanyi sunyi
seorang kabilah di padang pasir
ia akan kuganggu
setelah istirah di tebing tinggi
Surabaya 2003



CASABLANCA

harusnya tak ada pertemuan
kau buku yang tamat kubaca
dan ini adalah negeri
pengasinganku yang terakhir

angin mana menerbangkanmu
ke mari. Atau kaukah kutukan itu
yang kuhindar dari ribuan mimpi
tegukan anggur dan kepulan
asap tembakau

akulah biduk yang akan membelah
laut menuju tepian hidup, katamu

padahal sejarah tak pernah pupus
kenangan tak kenal lampus

sementara antara ambang dan gelombang
laut ngekalkan nestapa pengembara

jadi baiknya kau bersiap untuk tidur
sementara akan kusiapkan pergelaran

kau pemain utama
dan aku sang sutradara

Surabaya 2003


SYAIR BIJI TASBIH

tak ada leleh peluh dan darah
pedang tetap bisu di dinding
bedil masih beku dan dingin

tapi kuyakinkan
inilah kemenangan gemilang,
meski cuma bermodal sebiji tasbih

dan ini tak sebanding atas ababil
yang melunas tentara bergajah
juga daud yang menyentil raja zaluth

tak ada tegang dan urat kerut
singanafsu terkerangkeng lumpuh
saat lentera kalbu
terbias berkas cahaya-Mu




AMSAL
hidup tanpa rencana adalah dunia paragram
istirah di tebing-tebing tinggi setelah melawat
samodra jauh, lalu bertanya
ke mana lagi terbang
melintas benua
atau mengganggu kabilah di padang pasir


KAU PUN LEPAS
dahaga dan laparku minggat
ketika tubuh kutukikkan ke sebuah danau
kupatuk seekor ikan dan kusegarkan seluruh raga

dari jauhan kulihat kembali danau itu
berpendar membentuk alur asmamu

bodohnya aku meninggalkanmu!



ZIARAH DARAH
aku terbang kelewat jauh
menembus ruang
dan lorong-lorong waktu
hingga kutemukan jejak perang tanding
yang tak dapat kulerai itu
kucari kubur saudaraku yang gugur
namun cuma kudapat sebuah nisan
: habil


AKU DIMATA-MATAI
mata itu selalu menguntitku
kapan dan dimana pun
ia dapat mengokang bedil itu
lalu mengarahkannya ke bilik jantung

tapi aku jengah istirah tambah mengalah
biar kusiulkan dahulu mazmur itu
lalu kueja kata-katamu itu
hingga ditemukan jalan
yang membawaku ke negeri cahaya

duh, bagaimana upaya menghampirimu
biar kelak dihampirimu?


KETEMU SINBAD
saat melintas samodra seketika angkasa gelap
burung rukh tengah terbang di atas ragaku
kepak sayapnya menggelapkan seluruh pandangan

kukejar karena di satu kakinya
ada makhluk terikat seutas kain

aku ingin berteriak jangan
tapi makhluk itu kadung lari ke lembah penuh naga
siapa dia, tanyaku pada rukh
“Ia sinbad, serpihan seribu satu malam
yang tersesat di sebuah pulau”
mengapa tak kauakhiri dengan cakarmu
“Biar cakar pengarang yang menamatkannya”
bagaimana kalau pemburu tahu?

rukh melotot, lalu terbang menjauh

LANGIT MAKIN MENDUNG
aku sampai di sebuah padang
:lapang penuh api dan cahaya
namun latarnya aneh dan asing

bermiliar burung tengah baris
lalu keselidik satu demi satu
barangkali ada yang pernah singgah di Jakarta
memenuhi tugasmu sebagai samaran Jibril dan Muhammad

kerja melelahkan namun cuma berbuah gelengan kepala
kuselidik sekali lagi hingga letihku sampai di titik jenuh
akhirnya kutemukan juga: ia nampak murung dan tak bahagia

iakah yang bertengger di gerbong-gerbong
beraroma pesing dan maksiat itu?
ia mengangguk malas dan mengeluh
“Sayang! Aku tidak mengenalNya”





EPISODE SRI RAMA YANG HILANG
akhirnya kutemukan prototip bangau yang lehernya memanjang
“Ini hadiah Rama yang gigih mencari Sita Dewi!” katanya
meliuk-liukkan leher barunya
siapa Rama?
“Ia adalah anaknya Nabi Adam”
aku belingsat meninggi awan
ribuan tahun ia kucari
karena si bikin perkara itu
tentu tahu di mana kubur saudaraku

kupasang radar mata dan telinga
namun cuma kedengar suara erang
di sebuah jeram berair darah

jatayu!

“Ya, aku tengah menunggu Rama.”
datang saat yang tepat karena ia kutunggu juga
“Kau ingin berkahnya?”
“Aku ingin kematian datang lebih cepat.”

aku menunduk lalu perlahan terbang menjauh
ia bukan kabil dan aku belum siap bertemu pemburu






MIMPI JADI PEMBURU
aku menegur seekor bayan
mengapa membunuh kedua anaknya

betulkah mereka mendapat kasih sayang
puspa wiraja dan pangeran-pangeran itu? bayan menggeleng

“tentu akan kubiarkan mereka senasib
dengan anak-anakku”

atau karena lapar seharian terbang

“aku terbang
karena mencari makan buat mereka”

atau karena percaya reinkarnasi

“aku lebih percaya
barzakh pemisah”

lalu bayan bercerita tentang khidir yang diikuti musa
tentang perahu bagus yang dibuat lusuh
dan rumah batu yang nyaris ambruk
“tapi yang memesona adalah tentang anak yang dibunuh” serunya
sambil terbang menjauh

ZIARAH SAJAK
di senja senyap
di pelabuhan kecil
aku mengikut camar yang melayang
menepis buih mengurai puncak menyisir semenanjung

betapa payah mereka kukejar!

kupusatkan saja pada rupa mahasempurna
namun sayapku tergulung hingga menyinggung muram

mestikah aku berserah pada pemburu
dengan memintamu menggeleparkan aku
di ranjang bisu
atau menggali kubur
untuk kepalaku yang rela dipancung?

baiknya kupinjam saja kapak bermantra itu
sambil belajar menyihir hujan, bermeditasi
dan menyetop abad yang berlari!


ELANG LAUT*
di sinilah di runjam-runjam karang
aku selalu menghadirkan kenangan itu
saat ia menjentik puncak gelombang
dan aku mengekornya dari belakang

“kalau aku kautangkap
aku abadi untukmu!”

kukanonkan tubuh sampai ke titik langit
dan bagai pilot kamikaze kulesatkan tubuh ke jantungnya
ia pun kutangkap dan kami bicara tentang hari bahagia itu

namun setelah itu tak ada kabar
selain pengumuman di mana-mana
: awas ada pemburu!

sembilan bulan sembilan hari
aku sembunyi
dan kini di sini
di runjam-runjam karang
ia datang menguak kabut laut yang suram

kukapai ia, namun pemburu lebih kilat menyergapnya!
teriakku tak bersuara, namun di antara benturan ombak
kudengar lamat-lamat

“anak-anak kita…..!”
*Puisi Asrul Sani, yang juga menjadi latar puisi ini



IRONI HIJRAH BURUNG
berapa lama aku terbang
jauhi rumah cahayamu
pintu senja masih jauh
burung gagak enggan bersahut
namun keluasan awan kelabu
lapangkan beribu mimpi buruk
hingga aku nyaris dipatuk
bedil pemburu!



SEPASANG BURUNG DI GOA TSUR

Baiknya kauerami
bakal anak kita di sebongkah
Goa teramat gelap

Meski tak tahu
Kapan pemburu takut pada hitam
Inilah satu-satunya cara
untuk bertahan

Baru kali ini
kita kagumi lelap kelelawar
Dan lukisan laba-laba

Baru kali ini
kita benci cecak
Dan cahaya

Sungguh, kita mesti senyap
Sebab goa telah dihuni dua manusia
:satu penuh kasih sayang
Satunya lelap di pangkuan

Jangan sampai terjaga!

Biarkan mimpi tentang safaat
Yang dilimpahkannya kepada kita





TESIS WAKTU
tak ada yang lebih tenang selain waktu
mengintip genesis dan datangnya maut
lewat tangan berhompimpah
dan bermain petak umpet

padahal gunung karang meleleh kala angin tercipta
vulkano muntahkan batubatu kala tanah menggeliat
perut laut mengamuk kala aku melepas jangkar!

tak ada yang lebih batu selain waktu
berdiri diam dan dingin
namun menggesek kabil
agar menghunjam batok kepala habil

bukankah batu berkobar saat menyelusup
tubuhtubuh tentara bergajah? batu melontari iblis
di tanah suci, namun melempari nabi di negeri thaif!

tak ada yang lebih waktu selain waktu
meredam lolong nafiri izrail
di antara gelombang dengkur tidurku




CEMBURU SANJAK
kala engkau berjalan di belantara
aku menghunjam mata,hidung, dan kupingmu
tapi engkau malah asyik nyari ular
yang dulu memperdaya adam hawa

kala engkau nyusur telaga, layari pantai dan samodra
aku menelusup pori-pori jangat
lalu menyatu lewat biang keringat
tapi engkau lena mencari khidir, kapten ahab, sinbad,
dan dewa ruci


engkau teramat puas
segala hasrat terangkai dalam kata
meski aku tetap mengira, hal itu mengada-ada



TASBIH X-T-C

kali ini kita berperan jadi anjing, katamu
lalu dalam telanjang kita bergumul
tercebur dalam genangan banyu noda

tubuh kita basah nitikkan bulir dosa
namun kucari juga kain pembalut malu
yang teranyam dari serat kapas doa

sekarang kita harus menyalak, katamu
bisiki angin dan satwa segala burung
kabarkan betapa nikmat secawan anggur
di atasnya mengepul wewangi firdaus

beri aku setenggak: engkau bergirang
cekakakmu nyeruak awan, bangunkan dewa
nyatroni malaikah yang lagi istirah

kasih aku semangka: semangka tak ada
lalu engkau sayati tubuh sendiri, hingga
memercik darah, lalu bumi terbakar api

kini aku membelalak teringat kakek adam
tapi engkau malah ngakak menunju danau kaldera
sementara bumi luka parah dan aku bau kaldera

kasih aku doa!
namun denyut jantung tak nyebut allah
sedang lidah tumpat pedat, segala usus tak rangkai ayat

kasih aku doa!
lalu kusilet urat nadi
hingga darah
muncratkan dajal!




ANJING-ANJING-ANJING

semula aku tak peduli
engkau menggambar seekor anjing
hitam bermata liar, liur meleleh di taring
barangkali engkau kelewat lapar hari ini
sedang warung terpencil, perbekalan basi
dan di bukit pohonan cuma pinus berkawat duri

sebotol aqua habis jadi pengencer cat
di jauhan tampak anjing kampung menggigit tulang

semula tak peduli
engkau hadiahi aku
gambar seekor anjing

bukankah tamasya kita lengkap hari ini?
tengoklah ke angkasa: elang terbang sungguh perkasa
matahari nanar, namun denyutnya terasa ke segala hayat

mengapa seekor anjing?
kuharap ini gurauan lucu
tapi hidungku mulai mendengus
bulu-buluku berdiri,lalu aku tengadah ke langit

kini aku terkaing-kaing sambil menggigitmu
yang berubah jadi seonggok tulang rusuk

:kami terbirit menempuh hutan tropik


DENGAN NAMAMU
dengan namamu
aku menyimak zikir semesta
lewat gelagak laut, letup kaldera
hujan yang melukis bianglala

dengan namamu
aku membaca ribuan ayat
tersebar di reranting dahan
tersimpan di cakrawala

dengan namamu
aku mendedah tabir di dada
nyeruak segala rongga
berlayar di alir darah

dengan namamu
denyutku tak nyebut allah
usus-usus tak rangkai doa

dengan namamu
aku mompakan kucing hitam!

dengan namamu
aku…




SIKLUS
adakah tamat satu riwayat
gunung jadi batu jadi pasir jadi tanah
jadilah aku yang mendaki ke puncak gunung

matahari menjewer kulit hingga keringat
terciprat dan darah menjelma luka
“tapi tak ada puncak tanpa akhir
semua pasti tamat!” lalu kuuntun
sepasang kasut, baju, dan celana
jadilah tambang yang memanjang
nyampaikan aku ke puncakmu

tapi, kini aku telanjang!

BAYI SAJAK
aku menghamili semesta
benihku dari tawa gunung
dan senyum rembulan

aku mengidam matari
terpincut bintang
dan tarian satelit
tapi bayi siapa ini
tergolek kotor di trotoar
diasuh lalat dan kaleng mentega
barangkali ia pun bayi semesta
terlahir sebelum sempat kunikahi




PERTEMUAN

kucium wangi hawa
lalu kukabarkan, akulah adam
yang ngembara dari lembah ke lembah

kenangan pun ngalir seperti sungai susu
pancuran anggur, dan nyanyi sejuta mazmur

namun pengembaraan berbinih lelah
hingga tulang rusukku menggeliat
harimauku mengaum dari sangkarnya

(hawa, rindukan peristiwa di surga)


KEMBALI

asal dari bumi
akan kembali ke bumi

tapi ke mana aku kembali
ototku bercampur urat anjing
darahku saripati segalon bir

mungkin angin akan menggiringku
ke sana ke mari bagai gasing

semayam di perut atlantis
sembunyi di mulut lemangit
semburat di air kaldera

namun aku ingin kembali
ke gua asal-usulku
yang senantiasa menganga
disantuni cahaya ilahi

tapi tulangku bercampur besi
kulitku berunsur plastik
sisa-sisa hasil mencuri

barangkali akan lebih baik
mencari ari-ari
yang terpendam di perut bumi

ibu, aku ingin kembali!

KARYA SASTRA SEBAGAI OPERA APERTA

Istilah opera aperta pertama kali diketengahkan oleh pakar semiotik dari Itali, Umberto Eco, yang artinya sepadan dengan open text dalam bahasa Inggris.Kita dapat menyebutnya dengan teks terbuka. Apa yang dimaksud dengan karya sastra sebagai teks terbuka? Untuk menjawab pertanyaan ini, tidak bisa tidak, kita mestilah mengetahui gagasan Eco tentangnya dan apa implikasi terhadap karya sastra yang tergolong teks terbuka.
Marilah berandai bahwa kita telah membaca dua buah novel. Novel pertama berjudul Konspirasi Hari Kiamat dari Sidney Sheldon dan novel kedua karangan Iwan Simatupang berjudul Ziarah. Ketika membaca novel yang pertama, kita berada dalam ketegangan karena dalam setiap lembar novel tersebut pengarang acap kali menghadirkan peristiwa-peristiwa yang membentuk tanda tanya, misalnya peristiwa rentetan pembunuhan terhadap saksi mata yang sempat melihat UFO. Tanda tanya itu terus terpampang di sepanjang pembacaan. Terlebih-lebih, tokoh utama yang menyelidiki pembunuhan itu menjadi sasaran pembunuhan. Kita sebagai pembaca tentunya ingin menyudahi ketegangan, misalnya dengan cara menjawab tanda tanya yang lebih besar. Ketegangan itu berakhir juga berkat kebaikan sang pengarang. Namun, siapa yang dapat mengira bahwa atasan tokoh utaama—yang jadi sahabat, teman diskusi, dan pemberi SPJ—dalam menyelidiki kasus UFO itu merupakan otak dari segala peristiwa penuh darah yang menimpanya?
Dalam membaca novel kedua, barang kali kita pun berada dalam ketegangan. Hanya saja, berbeda dengan ketegangan novel pertama, yang berupaya menjawab apa yang terjadi selanjutnya, pada novel kedua ini kita berada dalam ketegangan lain, yaitu menjawab apa yang mungkin terjadi selanjutnya dan bagaimana memaknainya. Sayangnya, sampai akhir novel kita tidak mendapatkan kebaikan hati pengarang, sebab cerita dibiarkan menggantung atau terbuka.
Kedua novel tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Namun, dapat dipastikan bahwa novel yang pertama dapat dibaca oleh setiap orang dengan tanpa kesulitan. Mulai dari sini kita dapat menyentuhkannya dengan gagasan Umberto Eco.
Menurut Eco (1979), dalam The Role of the Readers, sebuah teks sering kali ditafsirkan pembacanya secara beda jika dibandingkan dengan maksud pengarangnya. Namun, ada kalanya pengarang tidak memperhitungkan kemungkinan itu. Pengarang biasanya hanya memikirkan pembaca pada umumnya (average reader). Teks-teks yang secara jelas bertujuan memunculkan respons yang tepat/persis pada pembacanya dapat disebut sebagai teks tertutup (closed text). Contoh teks semacam ini adalah karangan Sidney Sheldon tadi, yang dapat kita perluas dengan karya sastra didaktis dan populer. Karena ada teks tertutup, maka logikanya pasti ada teks terbuka. Teks terbuka tidak disusun seketat teks tertutup karena respons dan interpretasi pembaca dapat menelurkan pembaca yang baik (good reader)—bukan pembaca pada umumnya (average reader). Novel Ziarah terbukti memerlukan pembaca yang baik (good reader). Meskipun telah dikupas oleh para kritikus—di sini dapat kita sebut beberapa nama: Dami N. Toda, Umar Junus, Wing Karjo, Kurnia J.R., Faruk Ht., dan Okke Zaimar— hingga kini novel tersebut masih terbuka terhadap interpretasi baru. Namun, penggolongan teks terbuka dan teks tertutup tidaklah dikhotomis dalam arti ketat dan kaku sebab yang dinamakan teks tertutup menurut Eco, justeru merupakan teks yang sangat terbuka dan melampaui batas terhadap setiap interpretasi yang mungkin. Teks tertutup memang disusun secara kaku dan ketat oleh pengarangnya. Namun, ada satu hal yang sering kali tidak direncanakan secara infleksibel, yaitu peran pembaca. Puisi “Aku”-nya Chairil Anwar merupakan satu contoh teks tertutup. Namun, siapa yang dapat mengharamkan jika ada seorang apresiator yang menginterpretasi puisi tersebut di kamarnya sambil tiduran (meskipun ini bukan puisi kamar!) dan menyangsikan aku lirik puisi tersebut sebagai pribadi Chairil Anwar sendiri? Terlebih-lebih karena apresiator tersebut memiliki wawasan yang luas tentang sejarah dan sosiologi sastra. Bukankah puisi tersebut dibacakan pertama kali oleh Chairil di depan forum yang disponsori oleh pemerintah Jepang? Jangan-jangan ini propaganda Jepang. Dengan demikian, si aku dapat saja melebihi pribadi penyairnya, malahan boleh jadi sebagai simbol semangat Asia Raya dalam bersiap diri menghadapi pasukan Sekutu!
Eco dengan jelas membedakan teks tertutup dan teks dari segi cerita (fabula). Dalam hal ini Eco mengkhususkan diri pada teks-teks naratif. Kedua novel yang kita sebut di awal tulisan ini merupakan teks naratif sehingga cerita keduanya dapat diwakili oleh kedua bagan Eco berikut:
a. fabula teks tertutup b. fabula teks terbuka



Dari kedua bagan itu tampak tonjolan-tonjolan Pg yang menggambarkan keadaan fabula masing-masing teks. Pada bagan a, pengarang menawarkan kepada pembacanya kesempatan yang terus-menerus untuk meramalkan kelanjutan cerita, namun pada langkah selanjutnya pengarang menyatakan kebenaran teksnya, yaitu melalui cerita tanpa taksa, yang mesti ditarik sebagai kebenaran teksnya. Dari penjelasan ini kita dapat menduga bahwa novel populer, khususnya novel detektif merupakan contoh adekuat untuk tipe teks tertutup.
Pada bagan b, pengarang setahap demi setahap menuntun pembaca pada keadaan pluriprobabilitas (kemungkinan ganda). Namun, ujung dari teks bukanlah keadaan akhir teks, karena pembaca diminta untuk membuat pilihan-pilihan bebas dan mere-evaluasi keseluruhan teks bedasarkan sudut pandangnya sendiri. Teks naratif demikian dapat diwakili oleh noveau roman atau teks-teks avant-garde. Dalam sastra Indonesia. Kita menemukannya pada novel Stasiun Putu Wijaya, Rafilus Budi Darma, dan sebagian besar novel karya Iwan Simatupang (Merahnya Merah, Kering, dan Ziarah)
Gagasan-gagasan Eco dalam bukunya tersebut tidak dikhususkan melulu pada teks bahasa, melainkan pada fenomena yang dapat dikategorikan sebagai teks. Dalam hal ini kita diingatkan oleh Luxemburg (1989) bahwa teks adalah tanda atau sekumpulan tanda yang mencakup berbagai hubungan antartanda (sintaksis), makna (semantik), dan pemakai tanda (pragmatik). Jadi,wajar saja jika Eco menyebut musik, teater, dan film sebagai teks. Namun, bagan teks naratif Eco, yang memang khusus untuk tanda bahasa, mengingatkan kita pada kategori teks lisible dan scriptible dari Roland Barthes. Apabila kita perhatikan, misalnya dengan membaca S/Z-nya Barthes (1979), karya sastra yang dicontohkannya setipe dengan kategori Eco. Dengan demikian baik konsep Eco maupun Barthes dalam tulisan ini dapat kita gunakan untuk membedah karya sastra yang memiliki fenomena yang sama.
Barthes membatasi teks lisible (yang readible) sebagai teks tradisional atau klasik, yang sering kali menyesuaikan diri terhadap kode, konvensi, dan norma yang berlaku. Teks seperti ini, kata Barthes, dapat diinterpretasi dengan cepat dan menyenangkan pembacanya. Sebaliknya, teks scriptible (yang writible) adalah teks yang tidak terus terang, parodi, dan sering kali melakukan inovasi terhadap konvensi, sehingga mengejutkan, aneh, dan membuat pembaca kesal karena tidak sesuai dengan standar dan cakrawala harapan pembacanya.
Teks tertutup dan teks terbuka mengingatkan saya pada kategori teks sastra mimbar dan sastra kamar yang pernah dicuatkan oleh Agus R. Sarjono. Dalam beberapa tulisannya Agus menyatakan bahwa sastra mimbar adalah sastra berformat besar yang banyak mengangkat masalah sosial politik, ideologi, dan hal besar yang menyangkut tema-tema zaman. Sementara itu, sastra kamar sebaliknya: tidak ada latar geger dan banyak mengangkat persoalan biasa dan sehari-hari. Tambahan lagi, sastra kamar cenderung menyoroti oeristiwa-peristiwa batin (psikologis) yang dapat menimbulkan dorongan bagi perbuatan-perbuatan besar yang tampak pada sastra mimbar. Agus juga merinci ciri-ciri tterhadap elemen intrinsik kedua kategori sastra tersebut, khususnya tema, plot, penokohan, dan latar. Dari ciri-ciri itu kita dapat menduga bahwa banyak karya sastra yang akan menolak untuk dikelompokkam pada kedua kategori tersebut. Akibatnya, kategori ini tidak memadai untuk mencakup sastra yang memiliki ciri-ciri berbeda. Tampaknya, Agus Sadar dengan kendala ini, sehingga ia mempesiapkan solusinya, yaitu dengan cara melihat besarnya kecenderungan (ciri-ciri) yang dibawanya. Akan tetapi, kita perlu menyadari, seperi kata Wellek (1989), sastra bukanlah penjumlahan elemen-elemen. Yang penting dalam sastra bagaimana elemen-elemen itu disatukan dan berfungsi. Dengan demikian, meskipun novel Pulang Toha Muhtar bercirikan sastra mimbar, persoalan yang mencuat justru sangat psikologis, yaitu kecurigaan dan ketidakyakinan Tamin terhadap keluarga dan masyarakat di desanya. Meskipn masyarakat desa sangat tabik karena menganggap Tamim sebagai pahlawan yang berpulang, hati kecilnya tetap bersikukuh bahwa dia adalah pengkhianat bangsa. Namun, ada yang luput dan tidak disadari oleh tokoh Tamin dan barangkali juga oleh pengarangnya, yaitu kiprahnya dalam bertani—kiprah biasa sebagai pemuda desa—justru yang menjadi solusdi akhir cerita. Hal ini apabila kita telaah lebih lanjut mengingatkan kita kepada peran bawah sadar dalam teminologi psikoanalisisnya Freud. Ilustrasi ini pun dapat menunjukkakn bahwa elemen-eleman sastra mimbar setelah menyatu dan dilihat fungsinya, ternyata menghasilkan sastra kamar. Dan boleh jadi, pengarangnya sendiri menggarap Pulang sebagai teks tertutup sehingga dapat dibaca dengan mudah oleh pembaca umumnya. Akan tetapi, karena yang dimaksud teks tertutup adalah teks yang sangat terbuka, kita tidak dapat mengelak jika pembaca yang baik memaknainya sebagai teks terbuka. Hal terakhir ini, sering kali dilakukan oleh Umar Junus. Misalnya, puisi Rustam Rffendi yang berjudul “Bunda dan Anak” yang berisi tentang seorang ibu yang sangat sayang kepada anaknya, sehingga jambu jatuhan yang menggiurkannya ia bersihakan dan ia simpan ntuk anaknya. Namun, si anak malah salah terima: ia membuang jambu itu karena dianggap sebagian (yang dibersihkan) telah dimakan si ibu.
BUNDA DAN ANAK
Masak jambak,
Buah sebuah
Diperam alam di ujung dahan.
Merah darah
Beruris-uris
Bendera masak bagi selera.

Lembut umbut, disantap sayap.
Keroak pipi pengobat haus. Harum baun
Semarak jambak.
Di bawah pohon terjatuh ranum.
Lalu ibu
Dipokok pohon.
Tertarung hidyung, terjatuh mata
Pada pala,
Tinggal sepanggal.
Terpercik liur di bawah lidah.

Belum jambu
Masuk direguk,
Terkenang anak, terkalang di rangkung.
Dalam talam,
Bunda tersimpan
Menanti put’ra si bungsu sulung.

Anak lasak
Tersetra-sera,
Bunda berlari mengambil jambu.
Ibu sugu
Buah sebuah,
Sedapnya sama dirasa ibu.

Rengut sunut,
Merajuk….Rasuk.
Bakhil disangka cintanya bunda.
Ke luar pagar
Jambu dilempar.
Ibu berdiam., mengurut dada.

Junus berpendapat terhadap puisi konvensional yang ditulis pengarangnya pada tahun 1925 ini:
Dalam hubungan ini timbul tantangan dari anaknya yang merupakan generasi muda. Anaknya tidak mau menerima sisa dari makanan penjajah. Karena itu, ia tak dapat menghargai suguhan ibunya, bukan karena ia anak yang durhaka. Ia malah marah. Melemparkan jambu itu ke luar pagar, sehingga tak akan ada lagi orang yang akan makan sisa (penjajah); juga tidak ibunya sendiri. Biar menahan lapar daripada memakan sisa yang ditinggalkan penjajah. Dan ini selanjutnya menyarankan suatu perjuangan menentang penjajah.

Dengan uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pada dasarnya karya sastra itu merupakan teks terbuka. Namun, banyak pengarang yang berusaha untuk membuatnya secara tertutup, misalnya dengan makna tunggal. Padahal, Fungsi pengarang kini bukanlah penentu makna. Ia hanyalah sebagai polisi lalu lintas kata yang tidak pernah ia ciptakan. Jelasnya, pengarang tdak pernah menciptakan teks karena teks merupakan suatu tenunan dari kutipan kata-kata, yang dicomotnya dari seribu sumber budaya!
Heraty, Torti, Ed.2000. Hidup Matinya Sang Pengarang: Esai-Esai tentang Kepengarangan oleh Sastrawan dan Filsuf. Jakarta: Yayasan Obor.
Culler, Jonathan. 2003. Barthes (Terjemahan Ruslani). Yogyakarta: Jendela.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Umberto, Eco. 1979. The Role of the Reader. Bloomington: Indiana University Press.

SASTRA PENDIDIKAN DAN PENDIDIKAN SASTRA

Istilah sastra pendidikan, yaitu satra yang bersifat mendidik, dalam tulisan ini muncul untuk kepentingan judul semata. Dalam konstelasi sastra, kita lebih mengenal sastra didaktis daripada sastra pendidikan. Sastra didaktis dibatasi sebagai karya sastra yang didesain utuk menjelaskan suatu cabang ilmu, baik yang bersifat teoretis maupun praktis, atau mungkin juga untuk mengukuhkan suatu tema atau doktrin moral, religi, atau filsafat dalam bentuk fiksional, imajinatif, persuasif, dan impresif (Abrams, 1981). Oleh sebab itu, kita dapat menyebut contoh kongkret, seperti novel filsafat Dunia Sophie karya Jostein Gaarder atau sebagian besar karya Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa, Pipiet Senja, Gola Gong dan Sakti Wibowo sebagai penulis sastra didaktis; terlebih- lebih dalam sastra yang ditulisnya itu disertakan embel-embel sastra islami, novel remaja islami, atau penuntun remaja islami. Di deretan rak toko buku pun muncul antologi puisi didaktis , seperti Puisi Anak Soleh: Cinta Tanah Air karya Helmidjas Hendra dengan keterangan bahwa puisi-puisi di dalamnya sangat cocok untuk anak TK islami, Tsanawiyah, Aliyah, dan Pesantren.
Sastra didaktis akan lebih luas jangkauannya apabila kita sadari bahwa contoh di atas hanya menjelaskan salah satu sastra keagamaan, yaitu Islam, Apabila kita selidik tentu ada juga sastra kristiani, hinduisme, buddhaisme, dan sebagainya.
Selain sastra didaktis kita pun mengenal sastra propaganda, yang oleh Abrams (1981) keduanya dianggap ekuivalen. Dengan catatan, sastra propaganda ditulis untuk menggerakkan pembaca sehingga mengambil sudut pandang atau langsung bertindak sesuai dengan isu politik atau moral yang ditawarkan. Dengan demikian, karya sastra yang ditawarkan oleh Mas Marco Kartodikromo dan Semaun (yang menyebarkan paham sosialisme pada tahun 1920-an), drama-drama di zaman Jepang, dan produk sastra Lekra di tahun 60-an termasuk ke dalamnya. Dalam kerangka lain, kedua subgenre sastra ini disebut juga dengan sastra terlibat atau litterature-engagee karena pengarang melibatkan diri terhadap penyebaran politik atau ideologi yang diyakininya.
Dari uraian di atas, kita sangat paham mengapa sastra yang demikian tidak langsung dapat dijadikan bahan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah. Di zaman Belanda sebagiannya ada yang dicap sebagai “bacaan liar” dan setelah merdeka sebagian dikategorikan ke dalam sastra yang dilarang. Jadi, penyebutan sastra didaktis tidak serta merta berkaitan dengan sastra yang mengajarkan nilai-nilai adiluhung bangsa, meskipun harus diakui, sastra yang bernilai adiluhung bangsa,merupakan bagian dari sastra didaktis. Dengan menggunakan kerangka Goenawan Mohamad (1982) pada saat menjelaskan posisi sastra keagamaan, kita dapat menyimpulkan bahwa sastra didaktis—islami/propaganda/tendens/terlibat—merupakan sastra yang mengusung sejumlah masalah dan menjadikan agama, ideologi, atau moral tertentu yang diyakini pengarangnya sebagai jawaban atau solusi akhir. Apabila simpulan ini kita kaitkan dengan pendapat Abrams tadi, maka solusi dengan paham tertentu merupakan tujuan utama dari sastra didaktis.
Karena sastra didaktis mengutamakan solusi sebagai tujuan, maka liku-liku proses dalam mencapai tujuan itu menjadi terabaikan. Dengan demikian, apabila kita menelusuri kaitan unsur-unsur sastranya, yang biasa kita sebut dengan struktur, terkadang tidak kukuh atau berantakan. Dalam novel, misalnya, tokoh-tokoh bergerak laiknya boneka yang mengusung gagasan dan cita-cita pengarangnya. Oleh sebab itu, konflik dalam cerita harus terselesaikan dan tunduk pada gagasan pengarang sebagai solusi ampuhnya. Novel Layar Terkembang adalah contoh kongkret sastra didaktis. Sebaliknya, dalam novel Belenggu tokoh-tokohnya seolah-olah menentukan sendiri nasibnya dan pengarang tidak mau menjadi dalang yang memainkan tokoh-tokohnya sebagai wayang. Akan tetapi, novel yang disebut terakhir ini justru menjadi salah satu novel yang menyedot banyak perhatian para kritikus sastra kita semenjak pemunculannya hingga kini. Dengan kata lain, novel Belenggu lebih kukuh dari segi struktur dan nilai estetiknya daripada Layar Terkembang.
Sastra didaktis, meskipun sastra yang mendidik –sekali lagi--ternyata tidak serta merta sesuai dan tepat untuk diajarkan dalam dunia pendidikan kita. Sastra memang benda budaya yang dapat dijadikan teladan. Namun dalam memfungsikan sastra sebagai media pendidikan, kita perlu melihat suatu kenyataan. Seperti pernah diungkap Damono (1987), sastra yang demikian ditulis berdasarkan tata nilai tertentu, yang mungkin saja milik golongan, etnis, dan bangsa tertentu, yang tentu saja lekang karena perubahan zaman. Sastra demikian tidak dengan instan dapat dipergunakan untuk semua orang yang beragam dalam ras, agama, etnis, dan ideologi. Jadi, untuk memasukkannya ke dalam ruang sekolah mesti melewati filter tujuan pembelajaran sastra. Di dalam kurikulum disebutkan bahwa secara umum tujuan pembelajaran sastra adalah agar siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Guru pun harus mampu mengarahkan siswa agar menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Di pihak lain kita pun perlu memperhatikan standar nilai estetik sastra sebab inilah salah satu pembeda sastra dari artefak seni lainnya, yaitu literary ‘kesastraan’-nya. Pembelajaran sastra di sekolah, seperti disinyalir oleh Moody (1971) , mungkin dapat membantu keterampilan berbahasa siswa, mungkin dapat menambah pengetahuan budaya siswa, mungkin juga dapat membantu pembentukan watak siswa yang sesuai dengan budaya adiluhung bangsa. Namun, yang tidak kalah mungkinnya adalah bahwa pengalaman bersastra juga dapat mempertajam daya rasa dan cipta siswa, sehingga menumbuhkan jiwa-jiwa yang kreatif. Bermula dari imaji kata, kemudian dapat berkembang menjadi “entah”, yang lebih dahsyat dari teknologi “cakar ayam”-nya Sedyatmo; lebih besar dari “sosrobahu”-nya Raka Sukawati.
Kedua insinyur itu menemukan konstruksi jalan tol bukan semata-mata karena keinsinyurannya. Semasa kecil di kampungnya, Sedyatmo sangat kagum dengan ketegaran pohon kelapa yang diamuk angin, yang ternyata kekuatannya terdapat dalam akar-akarnya yang mencakar kesegala arah, mirip cakar ayam. Pengalaman itu melintas kembali ketika dewasa, saat ia akan membuat jalan tol. Sementara itu, Raka Sukawati mampu memutar kepala tiang ruas jalan layang seberat 480 ton pada tumpuannya dan tidak diperlukan kekuatan tarik mesin yang besar, bahkan kalau mau, tiang itu dapat diputar hanya dengan tarikan ibu jari manusia. Teknik konstruksi itu tidak didapat Raka Sukawati dari buku-buku teknik yang rumit dan tebal, melainkan dari kisah klasik Arjuna Sosrobahu! Ilustrasi ini sekaligus membuktikan bahwa basis pengalaman (baik faktual maupun imajinatif) dapat menjadi kulminasi keberhasilan pendidikan seseorang. Dewey (2004) dalam bukunya, Experience and Education, menyoroti betapa pentingnya prinsip kesinambungan pengalaman. Menurutnya, setiap pengalaman sekaligus mengambil sesuatu dari pengalaman yang telah berjalan yang datang sesudahnya. Untuk mengukuhkan teoinya itu, Dewey tidak ragu-ragu untuk mengutip sebuah karya imajinatif dari seorang penyair: Semua pengalaman adalah jejak menuju ke arah pancaran dunia yang belum dikunjungi. Yang tepinya memudar untuk selama-lamanya bila ia kutinggalkan.
Mari kita kembali pada pumpunan masalah. Memang harus diakui, dalam pembelajaran sastra Indonesia, khususnya dalam mengapresiasi satra, pada awalnya guru selalu memahami karya sastra (puisi, cerpen, novel, atau drama) dengan berpusat pada teks. Dengan kata lain,pendekatan yang digunakan guru adalah pendekatan intrinsik, sehingga pertanyaan guru berkesar pada tema, latar tempat dan waktu, serta tokoh-tokoh yang muncul dalam karya sastra tersebut. Pendekatan yang digunakan guru disebut juga dengan pendekatan struktural atau objektif karena mempelajari unsur-unsur sastra yang terdapat di dalamnya.
Akan tetapi, pendekatan dalam mengapresiasi dan mengkaji sastra kini telah mengalami inovasi dengan mengikuti teori sastra kontemporer. Misalnya, pemahaman tidak lagi berpusat pada teks, namun berpusat pada pembaca. Pendekatan itu di Amerika disebut dengan pendekatan reader response (respons pembaca), sedangkan di Jerman disebut dengan rezeptionaesthetik (resepsi sastra). Jadi, pertanyaan guru tidak lagi bersifat konvergen, melainkan bersifat divergen. Misalnya setelah siswa diminta membaca atau mengapresiasi karya sastra, guru bertanya pada siswa: apa yang kamu rasakan setelah membaca puisi ini? Apakah kamu setuju dengan sikap yang dilakukan oleh tokoh dalam puisi itu? Kalau kamu menjadi tokoh A, bagaimana kamu menyelesaikan konflik yang ada pada tokoh B dan C? Bagaimana kalau peristiwa dalam karya sastra yang kamu baca, terdapat juga dalam kehidupan sehari-hari kita? Watak tokoh mana yang dapat kita teladani? Evaluasi pembelajaran yang demikian pada awalnya akan memunculkan reaksi, terutama dari para guru sebab evaluasi pembelajaran biasanya bersifat konvergen dan objektif. Reaksi guru akan mengarah pada protes manakala evaluasi itu dikaitkan dengan tes sumatif dan ujian akhir. Oleh sebab itu, inovator dan agennya harus memberikan pemahaman bahwa kompetensi yang harus dicapai siswa dalam pembelajaran sastra harus bertitik berat pada aspek afektif daripada aspek kognitif. Jadi, sekali lagi, dalam pembelajaran sastra, manfaat yang dapat diambil bukan hanya penambahan wawasan budaya siswa, melainkan pembentukan watak, peningkatan daya cipta dan rasa, serta pemercepat kemampuan berbahasa siswa.
Dengan pemberlakuan Kurikulum 2004, konsep pendekatan dalam pembelajaran apresiasi sastra itu akan sangat dimungkinkan karena dalam evaluasinya terwadahi oleh penilaian skala sikap dan portofolio. Sosialisasi inovasi pembelajarannya dapat disisipkan dalam TOT atau diskusi dalam MGMP Bahasa dan Sastra Indonesia.
Agar nilai estetik dan nilai ekstra estetik sastra dapat dihirup siswa, maka guru harus mampu memilih karya sastra yang diperlukan siswa dan senantiasa membimbing mereka dengan keteladanan membaca karya sastra yang baik. Guru memerlukan contoh dari para pembaca teladan, dalam hal ini adalah kritikus sastra. Di sinilah kita mulai menengok jurusan dan fakultas sastra sebagai salah satu outlet yang dapat melahirkan para pembaca teladan dengan gelar kritikus akademis. Namun, tengokan kita tampaknya tidak dapat sambil lalu sebab seiring dengan perubahan zaman dan paradigma ilmu, pendidikan sastra harus memperhatikan beberapa hal berikut.
Karya sastra yang tampil dengan warna lokal yang bersumber dari multi etnis membuat para pendidik di fakultas sastra harus merenung bahwa teori pinjaman dari Barat, yang berlatar belakang kemantapan bahasa Inggris, tidak dapat dianggap sebagai alat siap pakai sehingga penggunaan dan pemanfaatannya perlu disiasati. Akhir tahun ‘80-an, misalnya, di Universitas Bung Hatta Padang ada usaha urun rembuk dalam menciptakan teori dan kritik sastra Indonesia yang relevan, yang mengarah pada terbentuknya teori dan kritik sastra “produksi negeri sendiri” (Esten, 1988)
Dampak dan kadar kritik akademis belum tentu lebih hebat daripada kritik umum, yang kadang-kadang ada juga yang meyebutnya dengan kritik impresionistik, kritik jurnalistik, kritik populer, kritik sastrawan, atau kritik sastra kreatif. Ribuan kritik akademis dalam bentuk skripsi yang melembab di perpustakaan-perpustakaan fakultas sastra atau universitas memang belum tentu selevel dengan sampah. Namun, transformasinya dalam bentuk buku dan jurnal ilmiah masih dapat dihitung dengan jari. Sementara itu, banyak satrawan dan pembaca lebih prigel karena ulasan sastra di surat kabar dan majalah. Padahal, kritik akademis perlu dicuatkan, paling tidak, untuk mengutuhkan tradisi sastra kita. Seperti pernah dilansir oleh Bakdi Sumanto (1984), kritik sastra hendaknya tidak hanya sebagai pengungkap kembali pengalaman estetik pengarngnya, melainkan juga menunjukkan jelajah baru dan mampu memprediksi sastra masa depan.
Hal lain yang perlu dicermati adalah bahwa sastra, yang merupakan bagian dari kajian ilmu humaniora, kini mengalami gejala bahasa yang menyempit sehingga fakultas sastra dianggap tidak dapat menampung dan mewadahi ilmu-ilmu humaniora lainnya. Hal ini tampak, misalnya dengan diubahnya Fakultas Sastra UGM menjadi Fakultas Ilmu Budaya atau Fakultas Sastra UI menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Namun ironisnya, karena terpaan zaman yang menggelombangkan pascamodernisme, subjek ilmu sastra justru meluas. Misalnya, kini kita tengah asyik mengikuti suatu bidang kajian yang disebut dengan cultural sudies atau kajian budaya, yang medan minatnya menurut Melani Budianta (1995) adalah wacana poskolonial-nasional-transnasional, gender-ras-etnisitas, dan budaya pop. Apakah dengan demikian kita mesti bersama-sama melantunkan lagu Nina Bobo untuk menidurkan indikator nilai-nilai estetik sastra? Jawabannya, tentu saja tidak harus dengan hitungan detik!

PEMODERNAN CERITA RAKYAT & MASALAH PEMBELAJARANNYA

Karya sastra, yaitu puisi, prosa (cerpen dan novel), dan drama adalah materi yang harus diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah. Penyampaian materi sastra dalam mata pelajaran tersebut bermanfaat, terutama dalam menerampilkan berbahasa, meningkatkan cipta dan rasa, menghaluskan watak, dan menambah pengalaman budaya siswa (Moody, 1971 ). Manfaat itu relevan pula dengan salah satu tujuan dan fungsi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia seperti yang tertera dalam Kurikulum 2004, yaitu sebagai sarana pemahaman keberanekaragaman budaya Indonesia melalui khazanah kesusastraan Indonesia.
Budaya Indonesia memang sangat beragam dan hal itu akan tampak dalam khazanah sastra Indonesia yang terwujud dalam sastra-sastra daerah di seluruh nusantara. Keanekaragaman budaya yang tercermin dalam karya sastra itu hanya dapat dipahami secara nasional apabila menggunakan bahasa nasional pula. Oleh sebab itu, transformasi sastra dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia merupakan suatu keharusan. Setakat ini siswa pada setiap jenjang sekolah telah sangat mengenal cerita rakyat daerah yang sudah menasional, seperti Sangkuriang, yang bersumber dari cerita rakyat daerah Sunda, Malin Kundang, yang bersumber dari cerita rakyat daerah Minangkabau, atau Bawang Merah dan Bawang Putih yang bersumber dari cerita rakyat daerah Jawa Tengah. Namun, apabila membaca hasil penelitian yang berkenaan dengan cerita rakyat, maka betapa banyak dan beragamnya cerita rakyat nusantara itu. Cerita rakyat yang ribuan itu akan tetap menjadi khazanah budaya daerah setempat apabila kita tidak berusaha mentransformasikannya ke dalam bahasa Indonesia; padahal, khazanah sastra nusantara mesti dibaca secara luas oleh seluruh bangsa Indonesia, sehingga kita akan mengetahui juga hal-hal yang sama di antara sastra daerah yang beragam itu (Rusyana, 1981).
Transformasi sastra dengan penerjemahan dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia dengan demikian merupakan upaya yang harus terus-menerus dilakukan. Usaha ke arah itu sudah dirintis, misalnya oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depatemen Pendidikan Nasional atau oleh penerbit seperti Gramedia dan Yayasan Obor.
Penerjemahan sastra daerah ke dalam bahasa Indonesia yang berlangsung secara normatif, sesuai dengan kaidah penerjemahan, tidaklah akan menjadi kendala dalam proses apresiasi dan pembelajarannya di sekolah. Akan tetapi, ada fenomena lain yang muncul, yaitu karya sastra Indonesia modern yang bersumber dari cerita rakyat nusantara. Sastra Indonesia modern adalah sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia setelah mendapat pengaruh dari kebudayaan asing dan dicetak dengan menggunakan aksara latin (Damono, 2004). Oleh karena itu, apabila ada karya sastra Indonesia modern yang berlatar sastra nusantara tidaklah berarti terjemahan dari sastra berbahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia. Hal itu dapat berarti respons, reaksi, bahkan tolakan atau simpangan terhadap sastra daerah yang merupakan teks dasar atau hipogramnya. Karya sastra Indonesia modern yang menggunakan latar belakang, teks dasar, atau hipogram dari karya sastra nusantara dapat dikaji dengan menggunakan pendekatan intertekstual sehingga kita dapat mengetahui, apakah cerita rakyat nusantara yang dijadikan teks dasarnya itu mendapatkan modifikasi, ekspansi, ekserp, atau konversi (Riffaterre, 1978; Pudentia, 1992).
Karya sastra modern yang bersumber dari cerita rakyat telah banyak di tulis oleh sastrawan kita. Misalnya, puisi “Asmaradana” (dari epos Ramayana), “Penangkapan Sukra” (dari Babad Tanah Jawi , “Dongeng Sebelum Tidur” (dari cerita Anglingdarma, dan “Gatoloco” (dari mistik klasik Jawa) karya Goenawan Mohamad” bersumber dari cerita rakyat Jawa. Cerpen dan novel Umar Kayam, Putu Wijaya, dan Y.B. Mangunwijaya banyak bersumber dari cerita wayang; drama-drama karya Wisran Hadi dan Saini K.M. banyak bersumber dari cerita kaba Minangkabau dan legenda rakyat Sunda. Karya sastra yang demikian akan menjadi kendala dalam pembelajarannya di sekolah apabila guru tidak menggunakan pendekatan dan model yang tepat. Oleh sebab itu, perlu diupayakan satu pendekatan dan model pembelajaran yang tepat terhadap materi pembelajaran sastra yang demikian. Penemuan pendekatan dan model yang tepat akan sangat berguna, sehingga pembelajaran yang dikakukan dapat mengungkap khazanah sastra Indonesia secara global atau lintas daerah.
Penelitian tranformasi sastra sudah banyak dilakukan. Misalnya, Kuntara (1990) meneliti tranformasi teks jawa kuno Arjunawiwaha lewat tanggapan dan penciptaan di lingkungan sastra Jawa atau Pradotokusumo (1986) meneliti kakawin Gadjah Mada, yang merupakan suntingan naskah serta telaah struktur tokoh dan hubungan intertekstual. Namun, kedua disertasi tersebut memumpunkan diri pada sastra klasik, bukan pada sastra Indonesia modern. Penelitian transformasi yang berkaitan dengan sastra Indonesia modern dilakukan oleh Pudentia M.P.S.S.(1992) yang menelaah cerita rakyat Sunda Lutung Kasarung dan transformasinya dalam novel Purbasari Ayuwangi. Penelitian Pudentia, telah menunjukkan efek peralihan fokus tokoh dari Lutung Kasarung ke tokoh Purbasari Ayuwangi. Akan tetapi, novel terebut masih memperlihatkan fungsi cerita sebagai penguat tradisi.
Satu hal yang perlu diperhatikan, penelitian-penelitian yang telah disinggung itu berujung pada pengembangan ilmu sastra. Oleh sebab itu, penelitian serupa yang berujung pada pembermaknaan pembelajaran sastra di sekolah masih merupakan lahan kosong yang memerlukan penggarapan. Apabila kondisi ini tidak beranjak, maka sudah dapat ditengarai bahwa pembelajaran sastra tidak akan sampai pada titik apresiasi yang optimal sebab transformasi sastra yang tidak normatif akan membingungkan siswa yang yang sudah mengenal hipogram karya sastra yang dibacanya. Pada usia prasekolah sebagian besar anak dibimbing langsung oleh orang tuanya. Bimbingan itu mungkin munggunakan media bahasa daerah, namun mungkin juga menggunakan bahasa Indonesia. Bimbingan berupa penanaman nilai didaktis biasanya dilakukan ibu dengan bantuan cerita rakyat (mite, legenda, atau dongeng). Kegiatan itu dilakukan, misalnya pada saat anak akan tidur atau anak bertanya mengenai fenomena alam, asal usul nama tempat atau tokoh-tokoh dalam cerita rakyat dan pewayangan. Cerita yang disampaikan orang tua tentu akan mengacu pada cerita rakyat murni yang bersumber dari tradisi lisan. Oleh sebab itu masalah akan muncul pada saat pembelajaran sastra di sekolah, siswa dihadapkan pada teks sastra, misalnya puisi Indonesia modern, yang melakukan negasi terhadap hipogram atau teks dasar, seperti dalam penggalan cerpen “Bisma” karya Putu Wijaya:
Bisma bangkit dari tanah, udara dan air, yang melebur jasadnya setelah jutaan tahun yang lalu pralaya dalam perang Bharatayuda. Tubuhnya yang tinggi besar dan sedikit bungkuk karena tua tampak agung ditancap oleh ribuan panah. Mukanya yang dihiasi brewok dan cambang putih sudah kisut, akan tetapi masih tetap memancarkan sinar yang jernih. Resi yang telah memikul pengorbanan yang dahsyat itu tiba-tiba muncul di Pasar Senen.

Dalam cerita wayang sebagai teks dasar, Bisma adalah Putera Mahkota Raja Astinapura, Santanu, yang rela kehilangan mahkota kerajaan demi kebahagiaan ayahnya dan dalam perang Bharatayuda berpihak pada Kurawa; bukan membenci Pandawa, melainkan karena secara historis dia adalah seorang dewa yang yang harus menjalani hukuman sampai panah Srikandi (pihak Pandawa) menembus jantungnya. Namun dalam cerpennya, Putu Wijaya menghadirkan kembali tokoh Bisma pada zaman ini dengan alur, latar, dan tema yang sangat berbeda.
Dalam mengapresiasi cerpen yang demikian, siswa tentu akan kebingungan karena karya sastra yang dihadapinya sangat jauh dari cakrawala harapan (horizon of expectation) yang ada dibenaknya.
Untuk pembermaknaan pembelajaran sastra di sekolah, tampaknya harus ada penelitian yang diawali dengan pemetaan karya sastra Indonesia yang bersumber dari cerita rakyat, sehingga dapat diperoleh klasifikasi dari segi genre, media, dan hipogram dari setiap karya. Selanjutnya, berdasarkan pendekatan dan model pembelajaran yang ditemukan, perlu dilakukan penelitian lapangan di sekolah (SD, SMP, SMA) dan perguruan tinggi, sehingga diperoleh pendekatan dan model yang tepat dalam mengajarkan karya sastra modern yang berintertekstual dengan cerita rakyat.

Sumiyadi, staf pengajar sastra dan mahasiswa S3 di Universitas Pendidikan Indonesia
(Dimuat dalam Surat Kabar Pikiran Rakyat, 2005)

Kamis, 05 Juni 2008

SINETRON ISLAMI DIDAKTISKAH?

PUISI DAN PEMBELAJARANNYA

PUISI DAN PEMBELAJARANNYA
oleh Drs. Sumiyadi, M.Hum.



1. Antara Kajian, Kritik, dan Apresiasi Puisi

Puisi adalah salah satu genre sastra. Genre sastra lainnya adalah prosa fiksi dan drama. Oleh sebab itu, pembahasan berikut yang berkaitan dengan kajian, kritik, dan apresiasi puisi berlaku juga untuk prosa fiksi dan drama.
Kajian, Apresiasi, dan kritik puisi memiliki hubungan yang sangat erat karena ketiganya merupakan tanggapan terhadap puisi. Kajian puisi adalah kegiatan mempelajari unsur-unsur dan hubungan antarunsur puisi dengan bertolak dari pendekatan, teori, dan dengan cara kerja tertentu (Aminuddin, 1995:39). Kegiatan “mempelajari” dalam pemahaman yang bersifat keilmuan adalah “menganalisis”. Inti dari kegiatan mengkaji adalah menganalisis.
Sementara itu, kritik puisi dalam pemahaman awalnya adalah penilaian atau pertimbangan baik atau buruk terhadap karya puisi dengan memberikan alasan-alasan mengenai isi dan bentuk puisi tersebut (Jassin, 1991: 95). Jadi, kekuatan dan kelemahan puisi harus ditunjukkan dengan alasan-alasan yang adekuat. Alasan yang adekuat akan didapat dengan menganalisis unsur-unsur dan kaitan unsur puisi. Singkatnya, dalam kegiatan kritik, selain terdapat aspek penilaian, terkandung juga kegiatan menganalisis. Kegiatan kritik puisi yang ideal, selain menghadirkan kedua aspek di atas, ditambah dengan aspek interpretasi. Pradopo (1995:93) menegaskan bahwa aspek-aspek pokok kritik puisi adalah analisis, interpretasi (penafsiran), dan evaluasi atau penilaian.
Apa kaitannya antara kajian, kritik, dan apresiasi puisi? Apresiasi puisi adalah kegiatan menggauli karya puisi secara sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap puisi (Effendi, 2002). Kata menggauli atau mengakrabi biasanya berkaitan dengan hubungan sosial, misalnya kita berusaha mempererat hubungan dengan teman atau tetangga baru. Oleh sebab itu, apresiasi puisi pun seyogianyalah apabila dipahami sebagai usaha mempererat hubungan antara kita sebagai pembaca puisi dan karya puisi itu sendiri sehingga terjalin hubungan yang bersifat emosional, imajinatif, dan intelektual.
Hubungan sosial kita dengan teman atau tetangga dapat berada pada posisi sangat akrab, dapat juga sebaliknya. Begitu pula dalam apresiasi puisi. Jadi, apresiasi itu keadaannya bertingkat-tingkat dari yang terendah hingga yang tertinggi. Apresiasi tingkat pertama terjadi apabila kita mengalami pengalaman yang tertuang di dalam karya puisi. Kita terlibat secara imajinatif, emosional, dan intelektual dengan karya puisi. Apresiasi tingkat kedua terjadi apabila daya intelektual kita bekerja lebih giat, misalnya dengan mencermati karya puisi sebagai sebuah bangunan utuh yang di dalamnya terdiri atas paduan unsur-unsur. Apabila kita menyadari pula bahwa ada kaitan antara karya puisi dengan aspek-aspek di luarnya, misalnya dengan mengaitkannya pada aspek kehidupan, maka kita telah sampai pada tingkat tertinggi (Rusyana, 1980).
Berdasarkan penjelasan mengenai apresiasi, kita dapat menyimpulkan bahwa kajian dan kritik puisi merupakan kegiatan apresiasi juga, namun bertitik berat pada daya intelektual. Apabila kita dapat mengkaji dan mengkritik sastra, maka hal itu menunjukkan bahwa kita telah memiliki kompetensi puisi khususnya kemampuan kognitif. Apabila setelah mengkaji dan mengkritik puisi itu terjadi perubahan sikap dalam diri kita, misalnya kita menjadi orang yang peka terhadap perasaan orang lain, maka kita telah sampai pada kompetensi afektif puisi. Dengan demikian, titik berat dari apresiasi terletak pada pengembangan sikap dan nilai kita terhadap karya puisi.

2. Pendekatan dalam mengapresiasi, mengkaji, dan mengkritik Puisi
Pembahasan dalam tulisan ini akan memanfaatkan kerangka teori yang dikemukakan oleh Donald Keesey (1994). Sesuai dengan judul buku yang ditulisnya, Context for Criticism, Keesey memang tidak membahas pengkajian puisi secara khusus, melainkan pada kritik sastra. Meskipun demikian, berdasarkan penjelsan di atas, ada keterkaitan antara kritik, kajian, dan apresiasi.
Menurut Keesey (1994), dalam mengkaji atau memahami kritik sastra secara sistematis kita memerlukan skema konseptual. Skema itu dapat membantu kita dalam mendefinisikan, menganalisis, dan membandingkan konteks yang beragam sesuai dengan interpretasi kritikus pada saat mengkaji, mengkritik, atau mengapresiasi karya puisi. Bentuk diagram dari skema Donald Keesey itu adalah sebagai berikut:



PENGARANG
é
ê


REALITAS çè
KARYA SASTRA (PUISI) çè
KESUSASTRAAN LAIN


é
ê
PEMBACA



Pada diagaram tampak bahwa puisi berada di pusat dan diapit oleh garis vertikal dan horisontal. Garis vertikal mempersatukan pengarang dengan pembaca dan menunjukkan garis komunikasi yang mendasar. Melalui garis vertikal kita dapat mengetahui bahwa sumber pemaknaan puisi terletak pada manusia, yaitu pengarang dan pembaca; bukan pada kata-katanya. Pemahaman semacam ini melahirkan dua kecenderungan pendekatan dalam mengkaji karya sastra. Kecenderungan pertama akan memperhatikan kesadaran dan ketidaksadaran pengarang, serta seluruh lingkungan sosial, politik, dan intelektualnya sebagai penentu makna puisi. Kecenderungan kedua beranggapan bahwa makna puisi yang sesungguhnya merupakan hasil atau akibat dari interaksi antara pembaca dan puisi yang dibaca. Jadi, kecenderungan kedua bertentangan dengan kecenderungan yang pertama: apabila yang pertama berpusat pada kausalitas atau sebab-musabab kelahiran pisi, maka yang kedua berpusat pada efek puisi.
Garis horisontal pada diagram tampak mengacu pada dua konteks yang sangat berbeda. Konteks yang pertama adalah realitas, kenyataan, kebenaran, atau kehidupan yang ditiru puisi, sedangkan konteks yang kedua justru yang menunjukkan konteks yang berada jauh dari realitas kehidupan, yaitu puisi atau karya sastra lainnya . Dengan demikian, ada pengkajian puisi yang mendekati karya satra dengan realitas atau kehidupan di luar seni dan mengukur keakuratan dan kebenaran tokoh, tindakan, dan latar yang ditampilkan dalam puisi bedasarkan konteks tersebut. Sebaliknya, ada juga pengkajian puisi yang mendekatkan diri pada konteks puisi sebagai keseluruhan yang berada di luar realitas. Para pengkaji dan kritikus yang cenderung pada konteks ini berpendapat bahwa karya apapun mesti dipahami melalui analogi dengan karya-karya lainnya yang menggunakan konvensi serupa. Singkatnya, bagi kritikus ini puisi tidak meniru kehidupan, melainkan meniru puisi atau karya sastra lainnya. Kini kita sampai pada pendekatan yang cenderung pada konteks puisi itu sendiri. Menurut pandangan kritikus ini, makna yang sesungguhnya berada pada kata-kata, khususnya pada penataan kata-kata. Mereka berusaha menemukan koherensi puisi, yaitu dengan menunjukkan bagaimana bagian-bagiannya dipadukan untuk menciptakan keutuhan yang kompleks, namun berpadu secara indah. Jadi, kritikus ini bertugas untuk menjawab, bagaimana puisi itu bermakna dan bukan apa makna yang terkandung dalam puisi itu. Berdasarkan tugas yang diemban kritikus ini, maka sangat beralasan apabila mereka menolak pemisahan bentuk dengan makna karena menurut mereka, bentuk adalah makna itu sendiri.
Ringkasnya, dari skema Keesey yang akan dijadikan kerangka dalam tulisan ini, kita dapat mengelompokkan lima kecenderungan pndekatan, sesuai dengan konteks yang menjadi orientasinya, yaitu konteks pengarang, konteks pembaca, konteks realitas, konteks puisi atau karya sastra itu sendiri dan konteks puisi atau karya sastra lainnya.
Kecenderungan konteks pendekatan apabila dikaitkan dengan studi kritik yang mendasarinya akan menampakkan jenis pengkajian puisi yang sesuai dengan kecenderungan konteks masing-masing. Menurut Keesey, konteks pengarang akan menjadi wilayah pengkajian kritik historis atau genetik, konteks pembaca akan menjadi wilayah kritik respons pembaca, konteks realitas akan menjadi wilayah kritik mimetik, konteks karya sastra itu sendiri akan menjadi wilayah kritik formal, dan konteks karya sastra lainnya akan menjadi wilayah kritik intertekstual. Kritik intertekstual dalam praktiknya sering kali berhimpitan dengan istilah yang lebih luas, yaitu kritik struktural, pascastruktual, dan semiotik.


GENETIK/HISTORIS
é
ê


MIMETIK çè
FORMAL çè
INTERTEKSTUAL


é
ê
RESPONS PEMBACA


3. Praktik Pengkajian Puisi dengan Pendekatan Intertekstual Model Semiotik
Pada bagian berikut akan dipraktikkan salah satu pendekatan di atas, yaitu pendekatan intertekstual dengan model semiotik terhadap puisi Indonesia karya Sutardji Calzoum. Pemilihan puisi Sutardji berrdasarkan pertimbangan bahwa puisinya telah menjadi fenomena baru dalam perkembangan khazanah sastra Indonesia. Fenomena Baru itu tampak dari pengucapan puisinya yang bernuansa mantra. Sebagai puisi modern, puisi-puisi Sutardji tentu saja berwujud sastra tulis. Akan tetapi, untuk kepentingan pengucapan puisinya, Ia “menaburkan ruh” mantra, yang bersumber dari tradisi puisi lama atau sastra lisan. Sutardji sendiri menulis dalam kredo puisinya bahwa menulis puisi baginya adalah mengembalikan puisi pada mantra (1981 : 14).
Karena seni hasil tradisi lisan tak dapat dipisahkan dari seni pertunjukan (Teeuw, 1994), pemaduan seni itu dengan seni modern yang tradisi tulis menimbulkan konsekuensi-konsekuensi tertentu. Misalnya, kita dapat melihat bahwa keutuhan puisi Sutardji akan tampak secara optimal ketika dibacakan secara lisan, khususnya oleh penyairnya sendiri. Akan tetapi, puisi bukanlah untuk penyairnya saja. Sebagai karya sastra, puisi boleh dibaca oleh siapa saja , yang demikian puisi dapat hadir dengan interpretasi yang berbeda-beda, bergantung pada pengalaman atau ground pembacanya. Karena puisi yang polyinterpretable itulah, pengarang tidak dapat menjadi penafsir tunggal bagi puisi-puisinya.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk menginterpretasikan salah satu puisi Sutardji yang berjudul “Belajar Membaca”. Akan tetapi, interpretasi penulis akan dipumpunkan pada wujud puisi sebagai sastra tulis. Meskipun demikian, potensi sastra lisan yang terdapat dalam puisi itu tidak akan diabaikan. Potensi itu akan disinggung juga sejauh menunjang pembahasan pada wujudnya sebagai sastra tulis. Puisi “Belajar Membaca” selengkapnya adalah sebagai berikut.

BELAJAR MEMBACA
Kakiku luka
Luka kakiku
Kakikau lukakah
Lukakah kakikau
Kalau kakiku luka
Lukakaukah kakiku
Kakiku luka
Lukakaukah kakiku
Kalau lukaku lukakau
Kakiku kakikaukah
Kakikaukah kakiku
Kakiku luka kaku
Kalau lukaku lukakau
Lukakakukakiku lukakaukakikaukah
Lukakakukaikaukah lukakakukakiku
1979

3.1 Teori Semiotika
Tulisan ini akan menggunakan pendekatan semiotik; jadi, teori yang digunakan pun adalah teori semiotika. Semiotika adalah ilmu tentang tanda, cara kerjanya, penggunaannya, dan apa yang kita lakukan dengannya ( Zaimar, 1990; Zoest, 1993 ).
Pembahasan tentang tanda awalnya bersumber dari dua orang pakar semiotika, yaitu Charles Sanders Peirce (1839—1914) dan Ferdinand de Saussure (1857 – 1913). Kedua pakar itu meskipun sezaman, hidup ditempat yang berbeda dan bertolak dari ilmu yang berbeda pula. Dengan demikian, wajar saja apabila terminologi yang digunakan keduanya pun berbeda.
Pierce bertolak dari filsafat atau logika dan menggunakan istilah semiotika sebagai padanan kata untuk logika. Menurut Pierce logika mempelajari cara bernalar dan sesuai dengan hipotesisnya, penalaran dilakukan melalui tanda-tanda. Menurut pierce juga, berdasarkan hubungan tanda dengan acuan atau denotatumnya, tanda terbagi menjadi tiga : ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang terjadi karena hubungan kemiripan ( topologis, diagramatis, atau metaforis ). Indeks adalah tanda yang terjadi karena adanya kedekatan eksistensi, dan simbol adalah tanda yang terjadi karena hubungan yang bersifat konvensional (Zoest, 1993).
Saussure bertolak dari linguistik. Menurutnya, bahasa haruslah dipelajari sebagai sistem tanda. Dia pun memikirkan nama untuk ilmu tanda yang ia beri nama semiologi. Dia memperkirakan bahwa semiologi, bila suatu saat hadir, akan menunjukkan kepada kita terdiri dari apa saja tanda-tanda itu dan hukum atau kaidah apa saja yang mengaturnya. Linguistik hanyalah suatu bagian dari ilmu semiologi itu. Dengan demikian, hukum yang akan ditemukan oleh semiologi akan dapat diterapkan juga pada linguistik (Saussure, 1988: 82-83). Menurutnya juga, tanda merupakan gabungan antara penanda dan petanda. Penanda adalah citra akustis sedangkan petanda adalah konsep. Penanda dan petanda merupakan dua unsur yang bersifat padu sehingga tidak dapat dipisahkan. Pemisahan hanya dapat dilakukan untuk kepentingan analisis (Saussure, 1988:14).
Menurut Zaimar (1991), analisis semiotik terhadap karya sastra sebaiknya dimulai dengan analisis bahasa dan menggunakan langkah-langkah seperti dalam tataran linguistik wacana. Langkah pertama adalah dengan menganalisis aspek sintaksis. Dalam puisi analisis aspek sintaksis dapat berupa analisis satuan linguistik. Adapun yang dijadikan pedoman analisis dalam tulisan ini adalah Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia dan Pedoman EYD. Langkah kedua adalah dengan menganalisis aspek semantik. Analisis aspek semantik dalam puisi dapat berupa analisis denotasi, konotasi, majas, dan isotopi. Namun, tulisan ini akan memumpunkan perhatian pada isotopi untuk sampai pada penemuan motif dan tema puisi. Analisis isotopi akan berpedoman pada konsep Greimas (dalam Zaimar, 1991). Kemudian, langkah ketiga adalah analisis aspek paragmatik atau pengujaran. Pengujaran terlakasana dalam rangka komunikasi yang menuntut kehadiran pengirim (penutur/pencerita) dan penerima /pendengar/pembaca (Zaimar, 1990).


3.2 Pengkajian Model Smiotik Puisi “Belajar Membaca” Karya
Sutardji Calzoum Bachri

3.2.1 Analisis Aspek Sintaksis
Puisi “Belajar Membaca” terdiri atas lima belas larik dan masing-masing larik terdiri atas dua sampai dengan delapan kata. Dengan melihat jumlah larik dan kata-katanya itu, kita dapat mengelompokkannya ke dalam puisi pendek. Kemudian, apabila memperhatikan kata-katanya lebih lanjut, kita akan mendapat kesan bahwa selain pendek puisi itu pun sangat sederhana karena hanya terdiri atas tiga kata yang diulang-ulang, yaitu kata kaki, luka, kaku. Yang lainnya adalah pronomina persona pertama (-ku-) dan persona kedua (kau-), partikel –kah, dan subordinatif kalau, yang juga mendapatkan pengulangan.
Yang menarik dan perlu kita perhatikan dalam puisi itu adalah susunan frasa atau kata-katanya. Larik ke-2 (luka kakiku) merupakan pengulangan larik ke-1 (kakiku luka), akan tetapi dengan susunan terbalik (inversi), pembalikan susunan terdapat pula dalam larik ke-3 dan ke-4, larik ke-10 dan ke-11, dan larik ke-14 dan ke-15.
Selain pembalikan, dalam puisi itupun terdapat penggabungan kata yang dilakukan tanpa jarak spasi. Menurut EYD (Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan) pronomina persona pertama (-ku-) dapat berlaku baik sebagai proklitika maupun enklitika; jadi apabila digabingkan dengan kata lain baik di depan maupun di belakangnya, tidak menjadi masalah (misalnya, pada larik ke-6: lukakukah). Akan tetapi, pronomina persona kedua (kau-) yang seharusnya hanya dapat berlaku sebagai proklitika, dalam puisi itu berlaku juga sebagai enklitika (larik ke-8: lukakaukah). Selain itu, kata luka dan kaku yang dalam larik ke-12 dipisahkan oleh spasi, dalam larik ke-14 dan ke-15 digabung tanpa spasi.
Untuk memahami fenomena di atas, tampaknya kita perlu memahami terlebih dahulu setiap fungsi kata dalam puisi itu . Akan tetapi, penelaah fungsi kata hanya dapat dilakukan pada tataran kalimat. Pertanyaan kita kini, dapatkah setiap kata dalam puisi itu dianggap sebagai kalimat sehingga dengan demikian, kita dapat menghitung berapa jumlah kalimat yang terdapat dalam puisi itu? Dari segi formal, jelas kata-kata dalam puisi itu tidak memenuhi syarat penanda kalimat. Dalam wujud tulisan berhuruf latin, kalimat harus dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru (Depdikbud, 1988:256).
Walaupun demikian, usaha penentuan kalimat belumlah sampai kejalan buntu. Jalan masih ada karena kita sedang menghadapi teks sastra yang cenderung melakukan deotomatisasi atau defamiliarisasi terhadap bahasa komunikasi sehari-sehari. Selain itu, dalam bagian latar belakang telah disinggung bahwa puisi-puisi Sutardji bernuansa dengan mantra yang hakikatnya adalah sastra lisan. Tarik- menarik antara sastra tulis dan sastra lisan dalam puisi itu membuat kita perlu melihat juga ciri penanda kalimat dalam wujud lisan. Dalam wujud lisan kalimat diiringi oleh alunan titi nada, disela oleh jeda diakhiri oleh intonasi final, kemudian diikuti oleh kesenyapan (Depdikbud, 1988:254). Jika kita membaca dengan melisankan kata-kata yang ada dalam puisi itu akan terasalah bahwa sebenarnya susunan kata-katanya memiliki ciri penanda kalimat. Menurut hemat penulis, apabila kita merekonstruksi larik-larik puisi ke dalam bentuk kalimat, maka kalimat-kalimat yang terdapat dalam puisi itu terdiri atas 12 kalimat: 14 kalimat berita dan 8 kalimat tanya. Agar memudahkan kita untuk mengenali kalimat-kalimat yang terdapat dalam puisi itu, di bawah ini akan dikutip puisi “Belajar Membaca” setelah dibubuhi ciri penanda kalimat dalam wujud tulis dan kata-katanya dikembalikan pada susunan yang lazim sesuai dengan kaidah EYD:

BELAJAR MEMBACA

Kakiku luka.
Luka kakiku.
Kaki kau lukakah?
Lukakah kaki kau?
Kalau kaki kau luka,
lukakukah kaki kau?
Kakiku luka.
Luka kaukah kakiku?
Kalau lukaku luka kau,
kakiku kaki kaukah?
Kaki kaukah kakiku?
Kakiku luka kaku.
Kalau lukaku luka kau,
luka kaku kakiku luka kaku kaki kaukah?
Luka kaku kaki kakukah luka kaku kakiku?

Berdasarkan uraian di atas, kini kita dapat menganggap bahwa larik ke-1: kakiku luka merupakan kalimat yang memiliki fingsi S-P (Subjek-Predikat). Larik pertama itu mendapatkan inversinya pada larik ke-2 : luka kakiku, yang memiliki fungsi P-S (predikat-subjek). Fenomena kalimat inversi ini dapat kita hubungkan dengan konsep Van Zoest (dalam Sudjiman, 1991 : 14). Dalam kalimat bahasa Indonesia berlaku gradasi menurun ( gradation descendante ) yang menunjukan bahwa sesuatu yang lebih penting didahulukan. Dengan demikian, posisi mempunyai makna dalam wacana. Bila fenomena ini kita hubungkan dengan pembagian tanda menurut Peirce, posisi itu termasuk ke dalam ikon diagramatik karena memiliki kemiripan dengan posisi yang menjadi denotatumnya.
Bila ditinjau dari nilai komunikatifnya, larik ke-1 dan ke-2 termasuk kedalam kalimat berita atau deklaratif. Larik ke-1 menyatakan atau memberitakan bahwa kakiku luka (bukan tanganku, kepalaku atau anggota badan lainnya). Jadi, kaki sebagai anggota badan mendapat penekanan atau pementingan. Akan tetapi, posisi itu dibalik pada larik ke-2 menjadi luka kakiku; jadi yang ditekankan atau informasi yang dipentingkan adalah kondisi kakiku yang luka (tidak sehat atau cedera). Pada larik ke-3 dan ke-4, ke-10 dan ke-11, ke-14 dan ke-15 juga demikian. Akan tetapi, hal ini terjadi pada kalimat tanya atau interogatif. Pembahasan mengenai kalimat tanya ini akan dilanjutkan pada analisis aspek pragmatik karena menyangkut pembicara dan pendengar.
Dalam larik-larik puisi tersebut terdapat juga penggabungan kata tanpa spasi, misalnya kakikau, lukakaukah, kakikaukah lukakau, luka kakukakikaukah. Akan tetapi, penggabungan tanpa spasi ini tidak sampai membingungkan kita sebab masih berada pada frase atau kelompok kata masing-masing. Jadi, kakikau adalah kaki kau atau lukakakukakiku adalah luka kaku kakiku. Penggabungan seperti itu hanyalah berefek menyulitklan kita dalam membaca sebab harus mengenali dulu kata per kata yang digabung. Namun apabila kita hubungkan dengan tanda menurut Peirce, maka penggabungan ini sebenarnya juga memiliki kemiripan dengan denotatumnya, yaitu makna prosesif (milik). Misalnya, kakikau = kaki milik kau.
Bila kita meninjau kembali puisi itu secara keseluruhan, terdapat tanda bahwa puisi dapat dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian yang pertama adalah larik ke-1 sampai ke-6, bagian kedua larik ke-7 sampai ke-11, dan bagian ketiga larik ke-12 sampai ke-15. Penanda yang penting adalah larik ke-1, ke-7, dan ke-12, yang ketiganya merupakan kalimat berita. Bagian kedua dan ketiga merupakan pengulangan bagian pertama, namun secara bertahap mendapatkan pembalikan, penggabungan, dan penambahan kata sehingga bagian ketiga tampak lebih kompleks apabila dibandingkan dengan bagian kedua. Demikian juga bagian kedua tampak lebih rumit apabila dibandingkan dengan bagian pertama. Apabila kita tinjau dari segi bentuk kalimat, mula-mula diperkenalkan kalimat tunggal yang hanya terdiri atas kalimat inti, kemudian kalimat tunggal itu ditambah dengan unsur partikel, dan akhirnya ditambah dengan unsur kalimat inti lainnya sehingga membentuk kalimat majemuk (dari satu klausa kemudian menjadi dua klausa yang bersubordinat kalau).
Apabila pembalikan, penggabungan, dan penambahan kompleksitas kalimat itu dihubungkan dengan judul, apa yang dapat kita petik ? Judul merupakan tanda yang termasuk indeks bagi teks karena merupakan nama teks puisi yang bersangkutan. Dalam teori membaca, untuk sampai pada tahap membaca kritis, kita harus terlebih dahulu dapat membaca pemahaman dan membaca harfiah; pada tahap mendasar, seorang anak haruslah mampu membaca nyaring atau melafalkan bacaan. Kemudian, apabila kita memperhatiakn kembali bentuk atau tipografi puisi itu, tampak juga ikon teks bacaan yang ditujukan untuk anak yang baru belajar membaca.
Dengan demikian, judul “Belajar Membaca” tampaknya cukup tepat bagi puisi yang kita analisis.

3.2.2 Analisis Aspek Semantik
Dalam menganalisis aspek semantik, pertama-tama akan dilakukan analisis komponen makna kata yang terdapat dalam puisi. Kemudian, analisis dilanjutkan dengan penemuan isotopi untuk sampai pada penemuan motif sehingga dengan demikian, tema puisi kemungkinkan besar dapat ditemukan.
Setelah menelaah makna kata per kata yang ada dalam puisi ( dengan berpedoman pada Kamus Besar Bahasa Indonesia ), maka didapatlah komponen makna berikut:

kaki
· anggota tubuh
· bagian ( benda ) paling bawah
· alat untuk berjalan

luka
· belah
· pecah
· cedera
· menderita
· lecet

kaku
· keras
· kejang
· cedera
· berhentinya aktivitas

belajar
· berusaha
· berlatih
membaca
· melihat
· mengetahui
· memahami
· mengeja / melafalkan
· mengucapkan
· menduga / meramalkan

Berdasarkan daftar di atas, kini kita dapat menemukan kelompok isotopi untuk setiap kata dalam puisi, yaitu isotopi manusia, isotopi kesakitan, dan isotopi usaha:

Isotopi Manusia
· kaki ( ku / kau ) ( 17 kali )
· luka ( ku / kau ) ( 17 kali)
· kaku ( 5 kali )
· belajar
· membaca

Isotopi Kesakitan
· luka ( 17 kali )
· kaku ( 5 kali )

Isotopi Usaha
· belajar
· membaca

Baberdasarkan kelompok isotopi di atas, tampalah bahwa isotopi manusialah yang sangat menonjol, kemudian disusul berturut-turut oleh isotopi kesakitan dan isotopi usaha. Ketiga isotopi ini juga mendukung tiga motif, yaitu motif manusia, kesakitan, dan usaha. Berdasarkan motif-motif inilah kita sampai pada tema puisi, yaitu usaha manusia dalam merasakan kesakitan sesama manusia lainnya.

3.2.3 Analisis Aspek Pragmatik
Dalam puisi itu terdapat dua pronomina persona, yaitu aku dan kau. Pronomina persona itu dapat memberikan petunjuk kepada kita bahwa dalam puisi itu terdapat dua subjek komunikasi, yaitu si penutur dalam, dalam hal ini si aku lirik, dan si pendengar. Siapa yang diajak bicara, sulitlah untuk mengetahuinya sebab hanya disapa dengan kata kau. Yang menonjol adalah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh si aku lirik kepada kau. Akan tetapi, pertanyaan itu timbul setelah ada suatu kesadaran bahwa yang dijadikan pertanyaan itu adalah apa-apa yang terjadi dalam diri si aku lirik, misalnya kakiku luka kemudian kakikau lukakah, atau kakiku luka kaku kemudian luka kaku kakiku luka kaku kaki kaukah. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa si aku selalu ingin menyamakan apa yang dirasakan dirinya terhadap kau. Akan tetapi, dalam puisi itu kau hanya berperan sebagai pendengar saja, tanpa beraksi. Bahkan, akhir larik puisi pun berhenti dengan pertanyaan, luka kaku kaki kaukah luka kaku kakiku ?. Jadi, sampai akhir puisi, si aku lirik tidak atau belum yakin bahwa kau sebagai pendengarnya memiliki kesamaan dalam rasa (sakit).

3.2.4 Simpulan
Dari analisis aspek sintaksis didapatkan bahwa pengulangan, kembalikan, penggabungan tanpa spasi, dan penambahan kompleksitas kalimat sangat dekat hubungannya dengan judul “Belajar Membaca”. Tipografi puisi pun merupakan ikon terhadap teks bacaan untuk anak-anak. Kemudian, dalam analisis aspek semantik di temukan tema puisi, yaitu usaha manusia dalam merasakan kesakitan sesama manusia lainnya. Akhirnya, dalam analisis pragmatik atau pengujaran, tampak antara penutur dan pendengar tidak atau belum terjalin hubungan komunikasi yang lancar.
Berdasarkan uraian di atas, sampailah penulis pada sebuah interpretasi bahwa makna yang terdapat dalam puisi “Belajar Membaca” adalah usaha manusia dalam menyamakan rasa sakit terhadap manusia lainnya. Akan tetapi, usaha itu memang belum mencapai titik final sebab masih dalam taraf “belajar”. Tampaknya, si penutur mengharapkan komunikasi yang ideal di antara sesama manusia. Hal itu akan tampak nyata mana kala kita tahu bahwa persoalan yang dikemukakan penutur bersumber dari sebuah sabda Nabi Muhammad SAW, yaitu “perumpamaan orang muslim/ mukmin dalam saling mencintai, menyayangi, dan menaruh rasa simpati adalah apabila salah satu anggotanya sakit, maka seluruh tubuhnya akan merasa sakit pula” (Hadist Riwayat Bukhori). Jadi, puisi ”Belajar Membaca” berintertekstual dengan teks keagamaan, dalam hal ini adalah hadits Nabi Muhammad SAW.

4. Pergelaran Puisi
Pembahasan di atas tampak ilmiah karena menitikberatkan pada kompetensi kognitif. Uraian berikut akan menitikberatkan pada kompetensi psikomotor yang perlu dikuasai siswa SMA, yaitu keterampilan dalam mengekspresikan puisi secara lisan dan ragawi, yang biasa disebut dengan pergelaran puisi. Wujud pergelaran puisi dapat berupa baca puisi, rampak puisi, dramatisasi puisi, dan musikalisasi puisi.

4.1 Baca Puisi
4.1.1 Baca Puisi, Deklamasi, dan Transaksi
Istilah "baca puisi" (poetry reading) sudah akrab di telinga kita. Untuk meluncurkan antologi puisinya, penyair sering kali mengadakan acara baca puisi sebelum kritikus mengulasnya. Acara hari-hari besar, seperti HUT RI, Hari Pahlawan, atau acara penarik simpati dan solidaritas terkadang juga diisi dengan baca puisi. Selain itu, acara khusus yang bersifat kompetisi pun sering kali diselenggarakan.
Akan tetapi, perdebatan acap kali muncul manakala baca puisi dikaitkan dengan istilah lainnya, yaitu "deklamasi". Kedua istilah itu ada yang membedakannya secara hitam putih sehingga muncul fenomena yang aneh: baca puisi adalah berdiri mematung dengan teks puisi di tangan serta berusaha tidak bergerak dan deklamasi adalah membaca puisi yang telah dihafal dengan tambahan gerak artifisial. Apakah pembedaan itu memang demikian?
Memang harus kita akui, pemahaman orang terhadap kedua istilah tersebut belumlah sama. Mursal Esten (1987) dan Erizal Gani (1989) menganggap deklamasi dan baca puisi merupakan fenomena seni yang berbeda.
Dalam membedakan kedua istilah itu, biasanya orang langsung menghubungkan dengan kiprah Rendra sepulang dari Amerika. Baca puisi, katanya, merupakan oleh-oleh Rendra dari Negeri Paman Sam, yang langsung menggilas tradisi deklamasi di tanah air. Padahal, Rendra sendiri tidak membedakan kedua istilah itu. Bahkan, di Barat pembedaan baca puisi tidak dihubungkan dengan, deklamasi, melainkan dikontraskan dengan puisi oral (oral poetry). Menurut Preminger (1974:967--970), baca puisi merupakan tradisi baru, yaitu tradisi masyarakat yang telah mengenal dunia baca-tulis atau keberaksaraan, sementara puisi oral sebaliknya, yaitu tradisi masyarakat yang masih berada dalam dunia keniraksaraan.
Apabila kita telaah permasalahannya lebih dekat, tampaknya baca puisi dan deklamasi merupakan dua istilah yang mengacu kepada pengertian yang sama, yaitu membaca puisi atau mengomunikasikan puisi kepada para pendengarnya. Suharianto (1982:46) membatasi bahwa hakikat baca puisi tidaklah berbeda dengar deklamasi, yaitu menvampaikan puisi kepada penyimaknya dengan setepat-tepatnya agar nilai-nilai puisi tersebut sesuai dengan maksud penyairnya. Akan tetapi, batasan itu perlu kita persoalkan: bagaimana cara menyampaikan puisi yang sesuai dengan maksud penyairnya? Apakah betul baca puisi mesti objektif sehingga memuncuikan objective poetry reading? Rendra menolak anggapan ini sebab menurutnya (Rendra, 1982:89), seorang pembaca puisi mestilah bersikap bebas, spontan, dan sejati.
Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa yang mesti lebih kita pentingkan adalah puisinya; bukan penyairnya. Sebagai apresiator, kita dapat saja membacakan puisi sesuai dengan pengalaman kita. Hal itu dimungkinkan karena tidak ada yang dapat menjamin bahwa setiap puisi merupakan pengalaman autentik penyair. Dalam teori resepsi sastra (Junus, 1985:6) diungkapkan bahwa seorang penyair tidak mungkin secara konsekuen dapat menuliskan apa yang ingin dikatakannya sebab aktivitas manusia, terlebih-lebih yang bersifat kreatif, acap kali dikuasai oleh sesuatu yang tidak disadarinya (dalam teori psikoanalisis Freud, disebut dengan istilah bawah sadar).
Dengan demikian, yang mesti terjadi dalam baca puisi adaiah proses “transaksi" antara pembaca dan puisi yang dibacanya. Namun, perlu kita ketahui bahwa dalam setiap transaksi terjadi tawar-menawar dan saling memberi harga. Transaksi sastra pun demikian. Akan tetapi transaksi sastra berbeda dengan transaksi jual beli di pasar sebab berada dalam wilayah pengalaman. Puisi, umumnya karya sastra, selalu berhubungan erat dengan pengalaman, baik yang autentik maupun imajinatif. Meskipun demikian, perlulah digarisbawahi bahwa karya sastra bukanlah sekedar kumpulan atau gabungan dari pengalaman; sastra hanyalah suatu penyebab yang memunculkan pengalaman (Wellek, 1989:185] lebih jauh, Rosenblatt (Gani 1988:2) menyatakan bahwa sastra mestilah merupakan transaksi aktivitas jiwa pembaca dengan karya sastra.
Makna puisi diciptakan, dibentuk, dan diwujudkan sebagai hasil dari pembacaan. Jadi, pembaca mestilah mampu menentukan hubungan antara pengalamannya dan cipta sastra yang dibacanya (Probst dalam Gani, 1988:2). Dengan demikian, wajar saja jika Sutardji Calzoum Bachari (sebagai penyair dan pembaca puisi) merasa lebih pas apabila puisinya, yaitu “Kucing”, dibaca oleh seniman Adi Kurdi. Demikian pula, Nirwan Dewanto pernah meminta peserta lomba untuk membacakan kembali puisinya yang berjudul "Cinta adalah Terorr”.

4.1.2 Baca Puisi sebagai Seni Penghayatan
Baca puisi sebagai satu bentuk seni, tentunya dapat dipelajari seperti halnya seni rupa, seni lukis, seni tari, dan seni musik. Meskipun demikian, ada juga orang yang masih berpendapat bahwa dalam membaca puisi kita tidak perlu melatih atau mengotah vokal, mimik (ekspresi wajah), dan pantomimik (ekspresi seluruh tubuh). Menurutnya, puisilah yang akan menuntun dan memampukan pembaca dalam melakukan semua itu. Namun, pendapat itu menyimpang dari hakikat seni yang berlabel estetis. Memang, dalam aktivitas hidup, kita dengan mudah dapat melakukan kebutuhan biologis, seperti makan, minum, berjalan, berlari, duduk, berteriak, tertawa, menangis, atau diam membatu. Akan tetapi, manakala semua aktivitas biologis itu kita tampilkan di depan pentas dan ke hadapan penonton, semua itu tidak alamiah lagi sebab yang kita tampilkan adalah sekedar meniru kehidupan (mimesis). Bukankah hakikat puisi juga demikian?
Bahasa puisi yang cenderung memadat dan memusat dilakukan penyair secara sadar. Sebagai bukti, tidak semua orang dapat mengungkapkan gejolak jiwanya melalui puisi. Tanpa terampil mengutak-atik kata sehingga tercipta diksi, imaji. dan simbol yang tepat, orang tak mungkin dapat menulis puisi dengan baik. Demikian juga, hanya dengan mengolah vokal, mimik, pantomimik , dan imajinasilah orang dapat membaca puisi secara puitis. Dengan kesiapan peralatan suara dan tubuhnya, pembaca dimungkinkan dapat menghayati puisi yang dibacanya. Apabila pembaca dapat menghayati puisi, transaksi pengalaman akan terbungkus dengan estetika seni, dalam hal ini, seni baca puisi. Mungkin saja pembaca telah mencoba mengadakan transaksi pengalaman, namun karena tidak atau belum memiliki pembungkus, maka pembacaan puisinya akan tampak telanjang, naif, serta artifisial.
Stanislavski (1980) telah mengelompokkan empat fenomena seni yang tampak dalam pemeranan. Kita tidak bermaksud menyamakan antara seni peran dan baca puisi, namun pengelompokan yang dilakukan oleh Stanislavski sangat relevan dengan seni yang kita maksud. Keempat kelompok itu adalah seni mekanis, seni penyajian, seni eksploitasi, dan seni penghayatan.
Seni mekanis merupakan seni yang lapuk dan cenderung artifisial. Misalnya, pembaca puisi beranggapan bahwa kata-kata tertentu telah disimbolkan dengan cara tertentu pula. Dalam membaca larik-larik puisi Tuhanku/ Dalam termangu/ Aku masih menyebut namamu/ (penggalan puisi “Doa" karya Chairil Anwar), pembaca melakukannya seperti berikut.
Tuhanku: kepala tengadah ke langit dan tangan menyalib di dada;
Dalam termangu: kepala miring dan pipi menyandar pada satu telapak tangan;
Aku masih: menepuk atau menunjuk dada;
menyebut namamu: tengadah ke langit sambil mengacungkan telunjuk.
Apabila cara di atas kita praktikkan, tampaknya lebih nikmat melihat anak-anak (yang penuh keluguan) menirukan gerakan orang dewasa daripada sebaliknya.
Seni penyajian serupa dengan seni "seorang dalang". Pembaca puisi yang menggunakan seni ini akan senantiasa meniru sang dalang (pelatihnya) dalam ucap, sikap, dan tindakannya sehingga yang hadir dalam pembacaan puisi adalah Gatotkaca dan Arjuna atau Si Cepot dan Dewala (bergantung dalangnya). Padahal, semua tidak memiliki ruh sebab semua dilakukan sesuai dengan kreativitas sang dalang.
Seni eksploitasi dilakukan oleh pembaca yang amat sadar dengan kelebihan dirinya. Oleh karena itu, dia berusaha menonjolkan kelebihannya, meskipun tidak dituntut dalam pembacaan puisinya. Misalnya, si pembaca melenggak-lenggokkan tubuhnya seperti penari Bali (karena memang ia seorang guru tari). Padahal, puisi yang dibacanya adalah "Krawang-Bekasi". Jurus tari awalnya variasi, namun karena terlalu asyik, akhirnya menjadi dominasi.
Seni yang terakhir adalah seni penghayatan. Seni penghayatan timbul dalam diri pembaca. Pengalaman hidup pembaca yang terekam dalam bawah sadarnya akan terseleksi sesuai dengan transaksi yang terjadi berkat pembacaan puisinya. Jadi, setiap kata akan diucapkan sesuai dengan penghayatannya. Kata merdeka mungkin diteriakkan secara lantang; mungkin juga dibisikkan secara lirih. Orang yang menangis belum tentu mengekspresikan kesedihan. Demikian pula orang yang tertawa belum tentu karena sedang bahagia. Semua dapat mungkin dalam pembacaan puisi. Namun, semua itu mesti dilakukan secara estetis dan artistik: tidak naif dan artifisial. Masalah seni penghayatan ini akan kita uraikan lebih lanjut pada saat membahas latihan dasar drama.

4.1.3 Dasar-Dasar dan Beberapa Petunjuk dalam Baca Puisi
Apabila kita menyaksikan orang membaca puisi, adegan itu sebenarnya hanya merupakan tahap akhir yang tampak ke permukaan. Kualitas tahap akhir ini sebenarnya bergantung pada tahap-tahap sebelumnya yang dapat kita sebut tahap dasar. Menurut Aritonang (1990), dasar-dasar puisi itu mencakup olah vokal, olah musikal, olah sukma, olah mimik, olah gerak, dan wawasan kesastraan. Apabila dasar-dasar ini telah kita kuasai, selanjutnya kita akan sampai pada proses pembacaan. Dalam proses pembacaan inilah kita berusaha mencapai kualitas baca puisi secara optimal. Hal itu dapat dimungkinkan apabila kita mengikuti tahap pembacaan sebagai berikut:
a. membca dalam hati (agar puisi tersebut terapresiasi secara penuh);
b. membaca nyaring (agar pembaca dapat mengatur daya vokal, tempo, timbre, interpolasi. rima, irama, dan diksi),
c. membaca kritis (dengan mengoreksi pembacaan sebelumnya: segi-segi apa yang masih kurang dan bagaimana cara mengatasinya);
d. membaca puitis.

Untuk sampai pada pembacaan puisi yang kita idam-idamkan, yaitu membaca puitis, kita dapat juga mengikuti petunjuk yang disarankan oleh Mursal Esten (1987):
a. perhatikanlah judul puisi;
b. lihatlah kata-kata yang dominan;
c. selamilah makna konotatif;
d. dalam mencari dan menemukan makna, yang benar adalah makna yang sesuai dengan struktur bahasa;
e. tangkaplah pikiran yang ada dalam puisi dengan memparafrasekannya;
f. jawablah apa dan siapa yang dimaksud dengan kata ganti dan siapa yang mengucapkan kalimat yang diberi tanda kutip;
g. temukanlah pertalian makna tiap unit puisi (kata demi kata, frase demi frase, larik demi larik, dan bait demi bait);
h. carilah dan kejarlah makna yang masih tersembunyi;
i. perhatikanlah corak dan aliran sajak yang kita baca (imajis, religius, liris, atau epik?);
j. tafsiran kita terhadap puisi mesti dapat kita kembalikan kepada teks puisi itu sendiri.

4.2 Rampak Puisi
Istilah rampak puisi tampaknya hanya dikenal di daerah Jawa Barat sebab merupakan analogi dari rampak kendang. Barangkali istilah ini sepadandengan istilah yang digunakan oleh Rusyana (1982), yaitu "paduan baca" puisi.
Rampak puisi dapat dianggap sebagai varian dari baca puisi sebabpembacanya masih mengandalkan teks puisi. Perbedaannya, apabila baca biasa dilakukan oleh seorang pembaca, rampak puisi lazimnya dilakukan oleh lebih dari satu orang. Selain itu, rampak puisi memiliki beberapa keuntungan. Misalnya, dalam membaca puisi epik atau naratif, pembaca puisi tunggal harus dapat membedakan narasi dan karakter tokoh, sedangkkan dalam rampak puisi,hal itu merupakan tugas bersama. Dalam membaca puisi, sebut saja, "Penangkapan Sukra" secara rampak, kita tinggal menyesuaikan para pembaca dengan karakter tokoh: siapa yang menjadi narator, Sukra, Putra Mahkota, perempuan yang menjerit, dan kelompok koor. Sebagian pembaca dapat juga bertugas memberi efek suara tertentu, seperti suara serigala, kuda, tombak yang dihentakkan, suara batin Sukra. atau suara keramaian orang.
Namun, satu hal yang perlu diperhatikan, rampak puisi tidak perlu memanfaatkan pentas secara optimal. Pembaca puisi hanya berusaha agar pembacaannya puitis dan agar tidak mengganggu pandangan penonton, para pembaca mestilah mengatur posisi bacanya sehingga "enak" dipandang.

4.3 Dramatisasi Puisi
Dalam Kamus lstilah Sastra (1986) suntingan Panuti Sudjiman disebutkan bahwa dramatisasi sepadan dengan istilah "dramaan". Batasan kedua istilah tersebut adalah pengalihan karya sastra, baik puisi, cerpen, dan lainnya menjadi drama. Dengan demikian, dramatisasi puisi dapat berarti "mendramakan puisi". Dalam hal ini, puisi mesti tunduk pada kaidah-kaidah drama. Misalnya, apabila dalam konvensi drama terdapat kramagung/teks samping/petunjuk pengarang dan wawancang/dialog/ cakapan, maka dalam dramatisasi puisi pun demikian. Pendeknya, jika kita akan menampilkan dramatisasi puisi di atas pentas, syarat utama yang harus kita lakukan adalah memahami terlebih dahulu konvensi drama pentas sehingga kita mesti menguasai penataan pentas (skeneri), blocking dan acting yang benar.
Dramatisasi puisi memang mesti bertolak dari puisi. Akan tetapi, agar puisi itu sesuai dengan kaidah pemanggungan, maka seyogianyalah apabila puisi tersebut ditransformasikan terlebih dahulu ke dalam teks drama drama.

4.4 Musikalisasi Puisi
Musikalisasi puisi adalah menggubah puisi menjadi sebuah lagu. Dengan demikian, antara puisi dan musik harus memiliki keselarasan. Sepintas memang tidak terdapat perbedaan antara musikalisasi puisi dan lagu yang diiringi musik. Bukankah lagu juga bersumber dari lirik puisi? Syair atau lirik lagu biasanya dibuat setelah musik tercipta. Namun, dapat juga pemusik menciptakan musik dan lirik lagunya secara bersamaan. Bahkan, Ebiet G. Ade biasa membuat syair terlebih dahulu sebelum menyusun partitur musiknya. Meskipun demikian, tidak ada keharusan bagi pemusik untuk tunduk kepada lirik lagu. Jika perlu, untuk menyelaraskan lirik dengan musik dapat saja kita mengubah atau mengganti kata-kata syair tersebut. Dalam musikalisasi puisi tidaklah demikian. Hal itu disebabkan puisinya sudah tercipta dan merupakan salah satu bentuk seni, yaitu karya sastra. Dengan demikian, dalam musikalisasi, aransemen musik tidak boleh mengubah puisi. Puisi harus tetap utuh. Di sinilah kita dituntut untuk lebih kreatif karena dalam musikalisasi puisi yang ideal, aransemen musik mesti dapat menangkap karakter puisi yang digubah. Misalnya, puisi yang bersuasana muram dan sedih selayaknyalah apabila ditampilkan dalam nada dan irama musik yang bernuansa muram dan sedih pula.
Contoh konkret musikalisasi puisi sebenarnya sudah kita kenali. Misalnya, grup Bimbo pernah menyanyikan lagu "Salju" yang bersumber dari puisi Wing Karjo atau "Sajadah Panjang" yang bersumber dari puisi Taufik Ismail. Akan tetapi, grup Bimbo tidak pernah mengkhususkan diri pada musikalisasi puisi. Puisi-puisi yang mereka gubah barangkali karena dianggap sesuai dengan karakter musik mereka. Contoh yang sangat tepat untuk musikalisasi adalah album kaset Hujan Bulan Juni dan Hujan dalam Komposisi yang diproduksi oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Kedua album ini memang khusus direkam untuk kepentingan musikalisasi puisi-puisi karya Sapardi Djoko Damono.
Untuk kepentingan apresiasi puisi, memusikalisasi puisi dapat dijadikan kegiatan penguatan (reinforcement). Yang penting, Anda memiliki kepekaan rasa sehingga dapat menyelaraskan karakter musik dengan puisi yang kita pilih sebagai lirik lagunya. Kita pun tidak perlu terpaku pada musikalisasi puisi yang telah ada. Misalnya, apabila Anda mengadakan lomba musikalisasi puisi, materi lomba tidak perlu puisi yang sudah dimusikalisasi karena ini akan menimbulkan pemajalan daya kreativitas. Biarkanlah peserta lomba berkreativitas untuk memadukan karakter puisi dengan musik yang dimainkan. Alat musik pun tidak harus selamanya gitar, piano, biola, dan alat musik modern lainnya. Alat musik etnik, seperti rebana, rebab, kecapi, gamelan, gong, dan gendang dapat menghasilkan musikalisasi puisi yang eksotik dan ebih bernuansa warna lokal. Bukankah yang membuat menarik pementasan musikalisasi puisi kelompok Sanggar Matahari Jakarta dan Kiai Kanjeng-nya Emha Ainun Nadjib adalah musik etniknya juga? Kemudian, apabila kita hubungkan dengan karakter puisi Indonesia, unsur-unsur etnik atau warna lokal itulah yang merupakan bagian senyawa yang sulit untuk dipisahkan.

5. Model Pembelajaran Puisi
Model pembelajaran puisi yang akan dicontohkan mengacu pada prosedur yang ditawarkan Moody (1971) dalam bukunya yang berjudul The Teaching of Literature. Model yang disajikan masih belum rinci. Untuk kepentingan pembelajaran yang sesungguhnya, guru harus menyesuaikannya dengan tuntutan kurikulum. Inti dari model Moody terdiri atas enam langkah, yatu (1) pelacakan pendahuluan, (2) penentuan sikap praktis, (3) introduksi, (4) penyajian, (5) diskusi, dan (6) pengukuhan.


5.1 Pelacakan Pendahuluan (Prelininary Assesssment)
Pada tahap ini guru berusaha untuk menyingkap teks puisi sebelum pembelajaran dilakukan. Misalnya, puisi yang akan djadikan bahan pembelajaran adalah puisi konteporer krya Sutardj Calzoum Bachri dengan judul “Tapi”:

TAPI

aku bawakan bunga padamu


tapi kau bilang masih
aku bawakan resahku padamu


tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu


tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu


tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu


tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu


tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu


tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu


wah!


(Guru merenung)
Tapi? Mengapa judul puisi ini hanya kata penghubung? Pasti ada sesuatu yang bertentagan dan tidak selaras sehingga penyair mencantumkan judul demikan. Semua bunyi kata dalam puisi tersebut mengandung arti dan penyair mengungkapkannya dengan kalimat dan bahasa yang sederhana. Namun, kesederhanaan itu menjadi rumit karena banyak kata yang diulang-ulang. Tambahan lagi, mengapa setiap laik puisi yang menjorok ke kanan berakhir dengan kata penghubung? Kata “masih”, “hanya” , “meski”, “hampir”, “tapi”, dan “kalau” merupaan kata penghubung yang biasanya diucapkan oleh oang yang belum selesai berbicara atau belum mengakhiri kalimatnya secara sempurna. Ini pasti mengandung ketidakpuasan. Akan tetapi, si aku telah membawa semua miliknya. Namun, mengapa si kau masih saja tampak belum terpuaskan? Siapa sebenarnya si kau ini? Pasti seseorang yang luar biasa. Bahkan, mungkin bukan orang, tetapi Tuhan yang menguasai si aku. Buktinya, si aku telah rela mempersembahkan segala miliknya. Bahkan, si aku tidak peduli kalau yang dipersembahkan itu mayat dan arwahnya. Sungguhpun demikian, pengorbanan si aku tampaknya belum cukup sebab pada bait dan larik terakhir terdapat kata seru “wah” sebagai penanda ketidakpuasan karena si aku tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipersembahkan ke pada si kau. Sungguh tragis puisi ini.

5.2. Penentuan Sikap Praktis (Practical Decisions)
Dalam tahap ini guru mempertimbangkan tingkat kesukaran puisi. Pertimbangan guru hendaknya dikaitkan dengan kompleksitas kebahasaan, latar belakang budaya, dan perkembangan jiwa siswa. Puisi yang akan disajikan tampknya tidak terlalu kompleks dari segi bahasa. Isinya mengandung nilai-nilai religius sehingga tiadak akan bertentangan dengan pengalaman dan perkembangan jiwa siswa.

5.3. Introduksi
Dalam tahap ini guru memberikan pengantar atau apersepsi di depan kelas. Tahap ini sangat bergantung pada kesiapan guru, karakteristik puisi, dan keadaan siswa
(Kata-kata berikut diungkapkan oleh guru di depa kelas degan ekspresi yang tepat)
Anak-anak, seperti yang telah Bapak janjikan minggu yang lalu, kita sekarangakan mencoba menafsirkan sebuah puisi kontemporer. Kalian sudah siap? Bapak perhatikan, tampaknya kalian masih tegang? O, ....tadi kalian telah mengikuti tes Matematika dari Bu Erni, ya? (siswa merespons) Ya.....tetapi sekarang sudah berlalu, bukan? Nah, sekarang tidak perlu tegang lagi. Silakan kalian rileks, tetapi harus tetap berkonsentrasi pada puisi yang akan Bapak bacakan. Puisi ini berjudul...”Tapi” (siswa merespons). Ya...memang judul puisi ini agak janggal. Namun, itulah salah satu ciri dari puisi kontemporer, yaitu menggunakan bahasa secara bebas, bahkan kadang-kadang melanggar kaidah bahasa. Kalian tahu, apa yang dimaksud dengan puisi kontemporer? (siswa merespons) Ya...puisi yang melakukan pembaharuan terhadap puisi sebelumnya. Kalian tahu, siapa penyair puisi kontemporer yang mengaku dirinya sebagai Presiden Penyair Puisi Indonesia (siswa merespons) Kalian tidak tahu? Kalau penyair yang membaca puisinya sambil minum bir? (siswa merespons) Ya, betul, Sutardji Calzoum Bachri. Namun, itu dilakukannya dulu sekali. Sekarang tidak lagi minum bir, malahan ia rajin menjalankan ibadah dan telah pergi ke tanah suci (siswa merespons). Ya...baik, kalian tentu bertanya-tanya, tetapi sekarang bukanlah waktunya untuk bediskusi. Simpanlah dahulu pertanyaan kalian dan cobalah simak puisi yang akan Bapak bacakan ini (Apabila guru belum terampil membaca puisi, langkah lain dapat dilakukan, misalnya dengan memutar kaset, cd, atau vcd pembacaan puisi tersebut yang dilakukan oleh penyairnya atau pembaca puisi lainnya yang dianggap memadai). Kalian dengarkan saja puisi ini! Tidak perlu membaca atau menulisnya. Kalian siap? (siswa merespons, guru membacakan puisi dengan nyaring atau menutar kaset, cd, atau vcd pembacaan puisi tersebut, kemudian siswa menyimaknya)

5.4 Penyajian (Presentation)
Setelah guru selesai membaca puisi atau memutar dokumentasi pembacaan puisi, ada kemungkinan para siswa ingin memberi respons terhadap hasil pembacaan. Akan tetapi, guru tidak perlu melayani dahulu sebab pemahaman siswa tentu berbeda-beda: ada yang telah cukup paham, meskipun pusi baru dibacakan satu kali; ada juga yang hanya dapat menangkapnya secara samar-samar. Guru perlu memberitahukan kepada siswa bahwa kegiatan yang dilakukan terfokus pada pembacaan puisi dan penyimakannya sebab kegiatan diskusi akan dilakukan setelah acara penyajian selesai. Guru dapat membacakan atau memutar ulang pembacaan puisi sekali lagi, kemudian mempersilakan siswa untuk membacanya juga. Dalam pembacaan puisi yang dilakukan siswa, guru tidak perlu memberikan instruksi dan tanggapan. Biarkanlah siswa berkreativitas secara mandiri.

5.5 Diskusi
Kegiatan diskusi sangat bergantung pada program guru, karakteristik puisi, dan respons siswa. Akan tetapi, diskusi yang baik tentu saja harus mengarah pada kompetensi dasar yang telah termaktub dalam kurikulum. Sebagai pemandu diskusi, guru dapat mengarahkan siswa, misalnya dengan pertanyaan-pertanyan berikut: bunyi-bunyi apa saja yang terkandung dalam puisi ini? Apakah setiap bunyi menandung arti bahasa? Apakah terdapat pelanggaran kaidah bahasa yang dilakukan oleh penyair? Majas apa saja yang terdapat dalam puisi “Tapi”? Siapa yang dimaksud aku dalam puisi “Tapi?” Siapa si kau sehingga membuat si aku berteriak wah! Karena tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipersembahkan? Apakah si kau menyiratkan Tuhan yang disembah oleh si aku? Apa yang membuat tragis dalam puisi ini? Bagaimana kesimpulan dari seluruh puisi ini. Apabila guru telah mengajarkan puisi dengan pendekatan tertentu, pertanyaan diskusi hendaknya disesuaikan dengan prinsip pendekatan yang telah diajarkan.

5.6 Penguatan (Reinforcement)
Apabila setelah kegiatan diskusi minat siswa bertambah, kegiatan selanjutnya adalah guru memberikan penguatan atau pengukuhan (reinforcement), misalnya dengan mempersilakan siswa untuk mempersiapkan pergelaran puisi, misalnya dengan membaca puisi secara rampak, mendramatisasi, atau memusikalisasinya. Tentu saja kegiatan pengukuhan ini dapat dipadukan dengan kegiatan ekstrakurikuler atau pentas seni untuk acara tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1995. Stilistika. Semarang: IKIP Semarang Press.
Aritonang, Diro (Peny.). 1989. Puisi-Puisi Islami: Antologi Lomba Baca Puisi.
Bandung: Tabloid Jumatan Salam.
Bachri, Sutardji Calzoum. 1981. O Amuk Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.
Depdikbud. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
___________. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Esten, Mursal. 1987. Sepuluh Petunjuk dalam Memahami dan Membaca Puisi.
Padang: Angkasa Raya.
Gani, Erizal. 1989. "Seni Pembacaan Karya Sastra: Beberapa Catatan."Diktat.
Diterbitkan oleh Jurdiksatrasia FPBS IKIP Padang.
Jassin, H.B. 1991. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung.
Keesey, Donald. 1994. Context for Criticism. California: Mayfield Publishing
Company.
Moody, H.L.B. 1971. The Teaching of Literature. London: Longman Group LTD.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Preminger, Alex (peny). 1974. Princeton Encyclopedia of Poetry and Poetic. New
Jersey: Princeton University Press.
Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Rendra. 1982. Tentang Bermain Drama. Jakarta Pustaka Jaya.
Rusyana, Yus. 1982. Metode Pengajaran Sastra. Bandung : Gunung Larang.
Saussure,Ferdinand de.1988. Pengantar Linguistik Umum. Jakarta: Balai Pustaka.
S. Effendi. 2002. Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Stanislavski. 1980. Persiapan Seorang Aktor. Terjemahan Asrul Sani. Jakarta: Pustaka
Sudjiman, Panuti dan Aart van Zoest, Ed. 1992. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta:
Gramedia.
Suharianto, S. 1982. Berkenalan dengan Cipta Seni. Semarang: Mutiara Permata
Widya.
Sudjiman, Panuti. (Peny). 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.
Sumiyadi. 1992. “Drama sebagai Seni Sastra dan Pertunjukan” dalam Mimbar
Pendidikan Bahasa dan Seni No. XVIII.
_________. 1993. ”Menyoal Baca Puisi” dalam Mimbar Pendidikan Bahasa dan Seni.
No. XX.
Teeuw, A. 1994. Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Balai
Pustaka.
Zaimar, Okke K.S. 1991. Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang. Jakarta:
Intermasa.
_____________. 1991.”Semiotik dan Penerapannya dalam Studi Sastra”. Makalah.
Disampaikan dalam Penataran Sastra tentang Teori dan Aliran-Aliran dalam
Dunia Sastra, yang diselenggarakan oleh Balai Penelitian Bahasa di
Yogyakarta, 25-28 Februari.
_____________. 1992.”Telaah Semiotik dalam Karya Sastra”. Disampaikan dalam
Seminar Semiotika, yang di selenggarakan atas kerja sama Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya LPUI dengan Lingkaran Peminat Semiotik di
Jakarta, 21-22 Desember.
Zoest, Aart van. 1995 Semiotika. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.