Minggu, 08 Juni 2008

KARYA SASTRA SEBAGAI OPERA APERTA

Istilah opera aperta pertama kali diketengahkan oleh pakar semiotik dari Itali, Umberto Eco, yang artinya sepadan dengan open text dalam bahasa Inggris.Kita dapat menyebutnya dengan teks terbuka. Apa yang dimaksud dengan karya sastra sebagai teks terbuka? Untuk menjawab pertanyaan ini, tidak bisa tidak, kita mestilah mengetahui gagasan Eco tentangnya dan apa implikasi terhadap karya sastra yang tergolong teks terbuka.
Marilah berandai bahwa kita telah membaca dua buah novel. Novel pertama berjudul Konspirasi Hari Kiamat dari Sidney Sheldon dan novel kedua karangan Iwan Simatupang berjudul Ziarah. Ketika membaca novel yang pertama, kita berada dalam ketegangan karena dalam setiap lembar novel tersebut pengarang acap kali menghadirkan peristiwa-peristiwa yang membentuk tanda tanya, misalnya peristiwa rentetan pembunuhan terhadap saksi mata yang sempat melihat UFO. Tanda tanya itu terus terpampang di sepanjang pembacaan. Terlebih-lebih, tokoh utama yang menyelidiki pembunuhan itu menjadi sasaran pembunuhan. Kita sebagai pembaca tentunya ingin menyudahi ketegangan, misalnya dengan cara menjawab tanda tanya yang lebih besar. Ketegangan itu berakhir juga berkat kebaikan sang pengarang. Namun, siapa yang dapat mengira bahwa atasan tokoh utaama—yang jadi sahabat, teman diskusi, dan pemberi SPJ—dalam menyelidiki kasus UFO itu merupakan otak dari segala peristiwa penuh darah yang menimpanya?
Dalam membaca novel kedua, barang kali kita pun berada dalam ketegangan. Hanya saja, berbeda dengan ketegangan novel pertama, yang berupaya menjawab apa yang terjadi selanjutnya, pada novel kedua ini kita berada dalam ketegangan lain, yaitu menjawab apa yang mungkin terjadi selanjutnya dan bagaimana memaknainya. Sayangnya, sampai akhir novel kita tidak mendapatkan kebaikan hati pengarang, sebab cerita dibiarkan menggantung atau terbuka.
Kedua novel tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Namun, dapat dipastikan bahwa novel yang pertama dapat dibaca oleh setiap orang dengan tanpa kesulitan. Mulai dari sini kita dapat menyentuhkannya dengan gagasan Umberto Eco.
Menurut Eco (1979), dalam The Role of the Readers, sebuah teks sering kali ditafsirkan pembacanya secara beda jika dibandingkan dengan maksud pengarangnya. Namun, ada kalanya pengarang tidak memperhitungkan kemungkinan itu. Pengarang biasanya hanya memikirkan pembaca pada umumnya (average reader). Teks-teks yang secara jelas bertujuan memunculkan respons yang tepat/persis pada pembacanya dapat disebut sebagai teks tertutup (closed text). Contoh teks semacam ini adalah karangan Sidney Sheldon tadi, yang dapat kita perluas dengan karya sastra didaktis dan populer. Karena ada teks tertutup, maka logikanya pasti ada teks terbuka. Teks terbuka tidak disusun seketat teks tertutup karena respons dan interpretasi pembaca dapat menelurkan pembaca yang baik (good reader)—bukan pembaca pada umumnya (average reader). Novel Ziarah terbukti memerlukan pembaca yang baik (good reader). Meskipun telah dikupas oleh para kritikus—di sini dapat kita sebut beberapa nama: Dami N. Toda, Umar Junus, Wing Karjo, Kurnia J.R., Faruk Ht., dan Okke Zaimar— hingga kini novel tersebut masih terbuka terhadap interpretasi baru. Namun, penggolongan teks terbuka dan teks tertutup tidaklah dikhotomis dalam arti ketat dan kaku sebab yang dinamakan teks tertutup menurut Eco, justeru merupakan teks yang sangat terbuka dan melampaui batas terhadap setiap interpretasi yang mungkin. Teks tertutup memang disusun secara kaku dan ketat oleh pengarangnya. Namun, ada satu hal yang sering kali tidak direncanakan secara infleksibel, yaitu peran pembaca. Puisi “Aku”-nya Chairil Anwar merupakan satu contoh teks tertutup. Namun, siapa yang dapat mengharamkan jika ada seorang apresiator yang menginterpretasi puisi tersebut di kamarnya sambil tiduran (meskipun ini bukan puisi kamar!) dan menyangsikan aku lirik puisi tersebut sebagai pribadi Chairil Anwar sendiri? Terlebih-lebih karena apresiator tersebut memiliki wawasan yang luas tentang sejarah dan sosiologi sastra. Bukankah puisi tersebut dibacakan pertama kali oleh Chairil di depan forum yang disponsori oleh pemerintah Jepang? Jangan-jangan ini propaganda Jepang. Dengan demikian, si aku dapat saja melebihi pribadi penyairnya, malahan boleh jadi sebagai simbol semangat Asia Raya dalam bersiap diri menghadapi pasukan Sekutu!
Eco dengan jelas membedakan teks tertutup dan teks dari segi cerita (fabula). Dalam hal ini Eco mengkhususkan diri pada teks-teks naratif. Kedua novel yang kita sebut di awal tulisan ini merupakan teks naratif sehingga cerita keduanya dapat diwakili oleh kedua bagan Eco berikut:
a. fabula teks tertutup b. fabula teks terbuka



Dari kedua bagan itu tampak tonjolan-tonjolan Pg yang menggambarkan keadaan fabula masing-masing teks. Pada bagan a, pengarang menawarkan kepada pembacanya kesempatan yang terus-menerus untuk meramalkan kelanjutan cerita, namun pada langkah selanjutnya pengarang menyatakan kebenaran teksnya, yaitu melalui cerita tanpa taksa, yang mesti ditarik sebagai kebenaran teksnya. Dari penjelasan ini kita dapat menduga bahwa novel populer, khususnya novel detektif merupakan contoh adekuat untuk tipe teks tertutup.
Pada bagan b, pengarang setahap demi setahap menuntun pembaca pada keadaan pluriprobabilitas (kemungkinan ganda). Namun, ujung dari teks bukanlah keadaan akhir teks, karena pembaca diminta untuk membuat pilihan-pilihan bebas dan mere-evaluasi keseluruhan teks bedasarkan sudut pandangnya sendiri. Teks naratif demikian dapat diwakili oleh noveau roman atau teks-teks avant-garde. Dalam sastra Indonesia. Kita menemukannya pada novel Stasiun Putu Wijaya, Rafilus Budi Darma, dan sebagian besar novel karya Iwan Simatupang (Merahnya Merah, Kering, dan Ziarah)
Gagasan-gagasan Eco dalam bukunya tersebut tidak dikhususkan melulu pada teks bahasa, melainkan pada fenomena yang dapat dikategorikan sebagai teks. Dalam hal ini kita diingatkan oleh Luxemburg (1989) bahwa teks adalah tanda atau sekumpulan tanda yang mencakup berbagai hubungan antartanda (sintaksis), makna (semantik), dan pemakai tanda (pragmatik). Jadi,wajar saja jika Eco menyebut musik, teater, dan film sebagai teks. Namun, bagan teks naratif Eco, yang memang khusus untuk tanda bahasa, mengingatkan kita pada kategori teks lisible dan scriptible dari Roland Barthes. Apabila kita perhatikan, misalnya dengan membaca S/Z-nya Barthes (1979), karya sastra yang dicontohkannya setipe dengan kategori Eco. Dengan demikian baik konsep Eco maupun Barthes dalam tulisan ini dapat kita gunakan untuk membedah karya sastra yang memiliki fenomena yang sama.
Barthes membatasi teks lisible (yang readible) sebagai teks tradisional atau klasik, yang sering kali menyesuaikan diri terhadap kode, konvensi, dan norma yang berlaku. Teks seperti ini, kata Barthes, dapat diinterpretasi dengan cepat dan menyenangkan pembacanya. Sebaliknya, teks scriptible (yang writible) adalah teks yang tidak terus terang, parodi, dan sering kali melakukan inovasi terhadap konvensi, sehingga mengejutkan, aneh, dan membuat pembaca kesal karena tidak sesuai dengan standar dan cakrawala harapan pembacanya.
Teks tertutup dan teks terbuka mengingatkan saya pada kategori teks sastra mimbar dan sastra kamar yang pernah dicuatkan oleh Agus R. Sarjono. Dalam beberapa tulisannya Agus menyatakan bahwa sastra mimbar adalah sastra berformat besar yang banyak mengangkat masalah sosial politik, ideologi, dan hal besar yang menyangkut tema-tema zaman. Sementara itu, sastra kamar sebaliknya: tidak ada latar geger dan banyak mengangkat persoalan biasa dan sehari-hari. Tambahan lagi, sastra kamar cenderung menyoroti oeristiwa-peristiwa batin (psikologis) yang dapat menimbulkan dorongan bagi perbuatan-perbuatan besar yang tampak pada sastra mimbar. Agus juga merinci ciri-ciri tterhadap elemen intrinsik kedua kategori sastra tersebut, khususnya tema, plot, penokohan, dan latar. Dari ciri-ciri itu kita dapat menduga bahwa banyak karya sastra yang akan menolak untuk dikelompokkam pada kedua kategori tersebut. Akibatnya, kategori ini tidak memadai untuk mencakup sastra yang memiliki ciri-ciri berbeda. Tampaknya, Agus Sadar dengan kendala ini, sehingga ia mempesiapkan solusinya, yaitu dengan cara melihat besarnya kecenderungan (ciri-ciri) yang dibawanya. Akan tetapi, kita perlu menyadari, seperi kata Wellek (1989), sastra bukanlah penjumlahan elemen-elemen. Yang penting dalam sastra bagaimana elemen-elemen itu disatukan dan berfungsi. Dengan demikian, meskipun novel Pulang Toha Muhtar bercirikan sastra mimbar, persoalan yang mencuat justru sangat psikologis, yaitu kecurigaan dan ketidakyakinan Tamin terhadap keluarga dan masyarakat di desanya. Meskipn masyarakat desa sangat tabik karena menganggap Tamim sebagai pahlawan yang berpulang, hati kecilnya tetap bersikukuh bahwa dia adalah pengkhianat bangsa. Namun, ada yang luput dan tidak disadari oleh tokoh Tamin dan barangkali juga oleh pengarangnya, yaitu kiprahnya dalam bertani—kiprah biasa sebagai pemuda desa—justru yang menjadi solusdi akhir cerita. Hal ini apabila kita telaah lebih lanjut mengingatkan kita kepada peran bawah sadar dalam teminologi psikoanalisisnya Freud. Ilustrasi ini pun dapat menunjukkakn bahwa elemen-eleman sastra mimbar setelah menyatu dan dilihat fungsinya, ternyata menghasilkan sastra kamar. Dan boleh jadi, pengarangnya sendiri menggarap Pulang sebagai teks tertutup sehingga dapat dibaca dengan mudah oleh pembaca umumnya. Akan tetapi, karena yang dimaksud teks tertutup adalah teks yang sangat terbuka, kita tidak dapat mengelak jika pembaca yang baik memaknainya sebagai teks terbuka. Hal terakhir ini, sering kali dilakukan oleh Umar Junus. Misalnya, puisi Rustam Rffendi yang berjudul “Bunda dan Anak” yang berisi tentang seorang ibu yang sangat sayang kepada anaknya, sehingga jambu jatuhan yang menggiurkannya ia bersihakan dan ia simpan ntuk anaknya. Namun, si anak malah salah terima: ia membuang jambu itu karena dianggap sebagian (yang dibersihkan) telah dimakan si ibu.
BUNDA DAN ANAK
Masak jambak,
Buah sebuah
Diperam alam di ujung dahan.
Merah darah
Beruris-uris
Bendera masak bagi selera.

Lembut umbut, disantap sayap.
Keroak pipi pengobat haus. Harum baun
Semarak jambak.
Di bawah pohon terjatuh ranum.
Lalu ibu
Dipokok pohon.
Tertarung hidyung, terjatuh mata
Pada pala,
Tinggal sepanggal.
Terpercik liur di bawah lidah.

Belum jambu
Masuk direguk,
Terkenang anak, terkalang di rangkung.
Dalam talam,
Bunda tersimpan
Menanti put’ra si bungsu sulung.

Anak lasak
Tersetra-sera,
Bunda berlari mengambil jambu.
Ibu sugu
Buah sebuah,
Sedapnya sama dirasa ibu.

Rengut sunut,
Merajuk….Rasuk.
Bakhil disangka cintanya bunda.
Ke luar pagar
Jambu dilempar.
Ibu berdiam., mengurut dada.

Junus berpendapat terhadap puisi konvensional yang ditulis pengarangnya pada tahun 1925 ini:
Dalam hubungan ini timbul tantangan dari anaknya yang merupakan generasi muda. Anaknya tidak mau menerima sisa dari makanan penjajah. Karena itu, ia tak dapat menghargai suguhan ibunya, bukan karena ia anak yang durhaka. Ia malah marah. Melemparkan jambu itu ke luar pagar, sehingga tak akan ada lagi orang yang akan makan sisa (penjajah); juga tidak ibunya sendiri. Biar menahan lapar daripada memakan sisa yang ditinggalkan penjajah. Dan ini selanjutnya menyarankan suatu perjuangan menentang penjajah.

Dengan uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pada dasarnya karya sastra itu merupakan teks terbuka. Namun, banyak pengarang yang berusaha untuk membuatnya secara tertutup, misalnya dengan makna tunggal. Padahal, Fungsi pengarang kini bukanlah penentu makna. Ia hanyalah sebagai polisi lalu lintas kata yang tidak pernah ia ciptakan. Jelasnya, pengarang tdak pernah menciptakan teks karena teks merupakan suatu tenunan dari kutipan kata-kata, yang dicomotnya dari seribu sumber budaya!
Heraty, Torti, Ed.2000. Hidup Matinya Sang Pengarang: Esai-Esai tentang Kepengarangan oleh Sastrawan dan Filsuf. Jakarta: Yayasan Obor.
Culler, Jonathan. 2003. Barthes (Terjemahan Ruslani). Yogyakarta: Jendela.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Umberto, Eco. 1979. The Role of the Reader. Bloomington: Indiana University Press.

Tidak ada komentar: