Minggu, 08 Juni 2008

SASTRA PENDIDIKAN DAN PENDIDIKAN SASTRA

Istilah sastra pendidikan, yaitu satra yang bersifat mendidik, dalam tulisan ini muncul untuk kepentingan judul semata. Dalam konstelasi sastra, kita lebih mengenal sastra didaktis daripada sastra pendidikan. Sastra didaktis dibatasi sebagai karya sastra yang didesain utuk menjelaskan suatu cabang ilmu, baik yang bersifat teoretis maupun praktis, atau mungkin juga untuk mengukuhkan suatu tema atau doktrin moral, religi, atau filsafat dalam bentuk fiksional, imajinatif, persuasif, dan impresif (Abrams, 1981). Oleh sebab itu, kita dapat menyebut contoh kongkret, seperti novel filsafat Dunia Sophie karya Jostein Gaarder atau sebagian besar karya Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa, Pipiet Senja, Gola Gong dan Sakti Wibowo sebagai penulis sastra didaktis; terlebih- lebih dalam sastra yang ditulisnya itu disertakan embel-embel sastra islami, novel remaja islami, atau penuntun remaja islami. Di deretan rak toko buku pun muncul antologi puisi didaktis , seperti Puisi Anak Soleh: Cinta Tanah Air karya Helmidjas Hendra dengan keterangan bahwa puisi-puisi di dalamnya sangat cocok untuk anak TK islami, Tsanawiyah, Aliyah, dan Pesantren.
Sastra didaktis akan lebih luas jangkauannya apabila kita sadari bahwa contoh di atas hanya menjelaskan salah satu sastra keagamaan, yaitu Islam, Apabila kita selidik tentu ada juga sastra kristiani, hinduisme, buddhaisme, dan sebagainya.
Selain sastra didaktis kita pun mengenal sastra propaganda, yang oleh Abrams (1981) keduanya dianggap ekuivalen. Dengan catatan, sastra propaganda ditulis untuk menggerakkan pembaca sehingga mengambil sudut pandang atau langsung bertindak sesuai dengan isu politik atau moral yang ditawarkan. Dengan demikian, karya sastra yang ditawarkan oleh Mas Marco Kartodikromo dan Semaun (yang menyebarkan paham sosialisme pada tahun 1920-an), drama-drama di zaman Jepang, dan produk sastra Lekra di tahun 60-an termasuk ke dalamnya. Dalam kerangka lain, kedua subgenre sastra ini disebut juga dengan sastra terlibat atau litterature-engagee karena pengarang melibatkan diri terhadap penyebaran politik atau ideologi yang diyakininya.
Dari uraian di atas, kita sangat paham mengapa sastra yang demikian tidak langsung dapat dijadikan bahan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah. Di zaman Belanda sebagiannya ada yang dicap sebagai “bacaan liar” dan setelah merdeka sebagian dikategorikan ke dalam sastra yang dilarang. Jadi, penyebutan sastra didaktis tidak serta merta berkaitan dengan sastra yang mengajarkan nilai-nilai adiluhung bangsa, meskipun harus diakui, sastra yang bernilai adiluhung bangsa,merupakan bagian dari sastra didaktis. Dengan menggunakan kerangka Goenawan Mohamad (1982) pada saat menjelaskan posisi sastra keagamaan, kita dapat menyimpulkan bahwa sastra didaktis—islami/propaganda/tendens/terlibat—merupakan sastra yang mengusung sejumlah masalah dan menjadikan agama, ideologi, atau moral tertentu yang diyakini pengarangnya sebagai jawaban atau solusi akhir. Apabila simpulan ini kita kaitkan dengan pendapat Abrams tadi, maka solusi dengan paham tertentu merupakan tujuan utama dari sastra didaktis.
Karena sastra didaktis mengutamakan solusi sebagai tujuan, maka liku-liku proses dalam mencapai tujuan itu menjadi terabaikan. Dengan demikian, apabila kita menelusuri kaitan unsur-unsur sastranya, yang biasa kita sebut dengan struktur, terkadang tidak kukuh atau berantakan. Dalam novel, misalnya, tokoh-tokoh bergerak laiknya boneka yang mengusung gagasan dan cita-cita pengarangnya. Oleh sebab itu, konflik dalam cerita harus terselesaikan dan tunduk pada gagasan pengarang sebagai solusi ampuhnya. Novel Layar Terkembang adalah contoh kongkret sastra didaktis. Sebaliknya, dalam novel Belenggu tokoh-tokohnya seolah-olah menentukan sendiri nasibnya dan pengarang tidak mau menjadi dalang yang memainkan tokoh-tokohnya sebagai wayang. Akan tetapi, novel yang disebut terakhir ini justru menjadi salah satu novel yang menyedot banyak perhatian para kritikus sastra kita semenjak pemunculannya hingga kini. Dengan kata lain, novel Belenggu lebih kukuh dari segi struktur dan nilai estetiknya daripada Layar Terkembang.
Sastra didaktis, meskipun sastra yang mendidik –sekali lagi--ternyata tidak serta merta sesuai dan tepat untuk diajarkan dalam dunia pendidikan kita. Sastra memang benda budaya yang dapat dijadikan teladan. Namun dalam memfungsikan sastra sebagai media pendidikan, kita perlu melihat suatu kenyataan. Seperti pernah diungkap Damono (1987), sastra yang demikian ditulis berdasarkan tata nilai tertentu, yang mungkin saja milik golongan, etnis, dan bangsa tertentu, yang tentu saja lekang karena perubahan zaman. Sastra demikian tidak dengan instan dapat dipergunakan untuk semua orang yang beragam dalam ras, agama, etnis, dan ideologi. Jadi, untuk memasukkannya ke dalam ruang sekolah mesti melewati filter tujuan pembelajaran sastra. Di dalam kurikulum disebutkan bahwa secara umum tujuan pembelajaran sastra adalah agar siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Guru pun harus mampu mengarahkan siswa agar menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Di pihak lain kita pun perlu memperhatikan standar nilai estetik sastra sebab inilah salah satu pembeda sastra dari artefak seni lainnya, yaitu literary ‘kesastraan’-nya. Pembelajaran sastra di sekolah, seperti disinyalir oleh Moody (1971) , mungkin dapat membantu keterampilan berbahasa siswa, mungkin dapat menambah pengetahuan budaya siswa, mungkin juga dapat membantu pembentukan watak siswa yang sesuai dengan budaya adiluhung bangsa. Namun, yang tidak kalah mungkinnya adalah bahwa pengalaman bersastra juga dapat mempertajam daya rasa dan cipta siswa, sehingga menumbuhkan jiwa-jiwa yang kreatif. Bermula dari imaji kata, kemudian dapat berkembang menjadi “entah”, yang lebih dahsyat dari teknologi “cakar ayam”-nya Sedyatmo; lebih besar dari “sosrobahu”-nya Raka Sukawati.
Kedua insinyur itu menemukan konstruksi jalan tol bukan semata-mata karena keinsinyurannya. Semasa kecil di kampungnya, Sedyatmo sangat kagum dengan ketegaran pohon kelapa yang diamuk angin, yang ternyata kekuatannya terdapat dalam akar-akarnya yang mencakar kesegala arah, mirip cakar ayam. Pengalaman itu melintas kembali ketika dewasa, saat ia akan membuat jalan tol. Sementara itu, Raka Sukawati mampu memutar kepala tiang ruas jalan layang seberat 480 ton pada tumpuannya dan tidak diperlukan kekuatan tarik mesin yang besar, bahkan kalau mau, tiang itu dapat diputar hanya dengan tarikan ibu jari manusia. Teknik konstruksi itu tidak didapat Raka Sukawati dari buku-buku teknik yang rumit dan tebal, melainkan dari kisah klasik Arjuna Sosrobahu! Ilustrasi ini sekaligus membuktikan bahwa basis pengalaman (baik faktual maupun imajinatif) dapat menjadi kulminasi keberhasilan pendidikan seseorang. Dewey (2004) dalam bukunya, Experience and Education, menyoroti betapa pentingnya prinsip kesinambungan pengalaman. Menurutnya, setiap pengalaman sekaligus mengambil sesuatu dari pengalaman yang telah berjalan yang datang sesudahnya. Untuk mengukuhkan teoinya itu, Dewey tidak ragu-ragu untuk mengutip sebuah karya imajinatif dari seorang penyair: Semua pengalaman adalah jejak menuju ke arah pancaran dunia yang belum dikunjungi. Yang tepinya memudar untuk selama-lamanya bila ia kutinggalkan.
Mari kita kembali pada pumpunan masalah. Memang harus diakui, dalam pembelajaran sastra Indonesia, khususnya dalam mengapresiasi satra, pada awalnya guru selalu memahami karya sastra (puisi, cerpen, novel, atau drama) dengan berpusat pada teks. Dengan kata lain,pendekatan yang digunakan guru adalah pendekatan intrinsik, sehingga pertanyaan guru berkesar pada tema, latar tempat dan waktu, serta tokoh-tokoh yang muncul dalam karya sastra tersebut. Pendekatan yang digunakan guru disebut juga dengan pendekatan struktural atau objektif karena mempelajari unsur-unsur sastra yang terdapat di dalamnya.
Akan tetapi, pendekatan dalam mengapresiasi dan mengkaji sastra kini telah mengalami inovasi dengan mengikuti teori sastra kontemporer. Misalnya, pemahaman tidak lagi berpusat pada teks, namun berpusat pada pembaca. Pendekatan itu di Amerika disebut dengan pendekatan reader response (respons pembaca), sedangkan di Jerman disebut dengan rezeptionaesthetik (resepsi sastra). Jadi, pertanyaan guru tidak lagi bersifat konvergen, melainkan bersifat divergen. Misalnya setelah siswa diminta membaca atau mengapresiasi karya sastra, guru bertanya pada siswa: apa yang kamu rasakan setelah membaca puisi ini? Apakah kamu setuju dengan sikap yang dilakukan oleh tokoh dalam puisi itu? Kalau kamu menjadi tokoh A, bagaimana kamu menyelesaikan konflik yang ada pada tokoh B dan C? Bagaimana kalau peristiwa dalam karya sastra yang kamu baca, terdapat juga dalam kehidupan sehari-hari kita? Watak tokoh mana yang dapat kita teladani? Evaluasi pembelajaran yang demikian pada awalnya akan memunculkan reaksi, terutama dari para guru sebab evaluasi pembelajaran biasanya bersifat konvergen dan objektif. Reaksi guru akan mengarah pada protes manakala evaluasi itu dikaitkan dengan tes sumatif dan ujian akhir. Oleh sebab itu, inovator dan agennya harus memberikan pemahaman bahwa kompetensi yang harus dicapai siswa dalam pembelajaran sastra harus bertitik berat pada aspek afektif daripada aspek kognitif. Jadi, sekali lagi, dalam pembelajaran sastra, manfaat yang dapat diambil bukan hanya penambahan wawasan budaya siswa, melainkan pembentukan watak, peningkatan daya cipta dan rasa, serta pemercepat kemampuan berbahasa siswa.
Dengan pemberlakuan Kurikulum 2004, konsep pendekatan dalam pembelajaran apresiasi sastra itu akan sangat dimungkinkan karena dalam evaluasinya terwadahi oleh penilaian skala sikap dan portofolio. Sosialisasi inovasi pembelajarannya dapat disisipkan dalam TOT atau diskusi dalam MGMP Bahasa dan Sastra Indonesia.
Agar nilai estetik dan nilai ekstra estetik sastra dapat dihirup siswa, maka guru harus mampu memilih karya sastra yang diperlukan siswa dan senantiasa membimbing mereka dengan keteladanan membaca karya sastra yang baik. Guru memerlukan contoh dari para pembaca teladan, dalam hal ini adalah kritikus sastra. Di sinilah kita mulai menengok jurusan dan fakultas sastra sebagai salah satu outlet yang dapat melahirkan para pembaca teladan dengan gelar kritikus akademis. Namun, tengokan kita tampaknya tidak dapat sambil lalu sebab seiring dengan perubahan zaman dan paradigma ilmu, pendidikan sastra harus memperhatikan beberapa hal berikut.
Karya sastra yang tampil dengan warna lokal yang bersumber dari multi etnis membuat para pendidik di fakultas sastra harus merenung bahwa teori pinjaman dari Barat, yang berlatar belakang kemantapan bahasa Inggris, tidak dapat dianggap sebagai alat siap pakai sehingga penggunaan dan pemanfaatannya perlu disiasati. Akhir tahun ‘80-an, misalnya, di Universitas Bung Hatta Padang ada usaha urun rembuk dalam menciptakan teori dan kritik sastra Indonesia yang relevan, yang mengarah pada terbentuknya teori dan kritik sastra “produksi negeri sendiri” (Esten, 1988)
Dampak dan kadar kritik akademis belum tentu lebih hebat daripada kritik umum, yang kadang-kadang ada juga yang meyebutnya dengan kritik impresionistik, kritik jurnalistik, kritik populer, kritik sastrawan, atau kritik sastra kreatif. Ribuan kritik akademis dalam bentuk skripsi yang melembab di perpustakaan-perpustakaan fakultas sastra atau universitas memang belum tentu selevel dengan sampah. Namun, transformasinya dalam bentuk buku dan jurnal ilmiah masih dapat dihitung dengan jari. Sementara itu, banyak satrawan dan pembaca lebih prigel karena ulasan sastra di surat kabar dan majalah. Padahal, kritik akademis perlu dicuatkan, paling tidak, untuk mengutuhkan tradisi sastra kita. Seperti pernah dilansir oleh Bakdi Sumanto (1984), kritik sastra hendaknya tidak hanya sebagai pengungkap kembali pengalaman estetik pengarngnya, melainkan juga menunjukkan jelajah baru dan mampu memprediksi sastra masa depan.
Hal lain yang perlu dicermati adalah bahwa sastra, yang merupakan bagian dari kajian ilmu humaniora, kini mengalami gejala bahasa yang menyempit sehingga fakultas sastra dianggap tidak dapat menampung dan mewadahi ilmu-ilmu humaniora lainnya. Hal ini tampak, misalnya dengan diubahnya Fakultas Sastra UGM menjadi Fakultas Ilmu Budaya atau Fakultas Sastra UI menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Namun ironisnya, karena terpaan zaman yang menggelombangkan pascamodernisme, subjek ilmu sastra justru meluas. Misalnya, kini kita tengah asyik mengikuti suatu bidang kajian yang disebut dengan cultural sudies atau kajian budaya, yang medan minatnya menurut Melani Budianta (1995) adalah wacana poskolonial-nasional-transnasional, gender-ras-etnisitas, dan budaya pop. Apakah dengan demikian kita mesti bersama-sama melantunkan lagu Nina Bobo untuk menidurkan indikator nilai-nilai estetik sastra? Jawabannya, tentu saja tidak harus dengan hitungan detik!

Tidak ada komentar: