Rabu, 11 Juni 2008

GENESIS ESAI DAN KRITIK SASTRA KITA

Esai adalah karangan dalam bentuk prosa yang membahas masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya. Sebagai salah satu bentuk penulisan, esai mengenai sastra Indonesia mulai dikenal luas sejak tahun 1930-an, yaitu setelah diterbitkannya majalah Pujangga Baru. Akan tetapi, pemunculan esai sastra yang paling awal masih dapat ditelusuri jauh sebelum penerbitan majalah tersebut. Misalnya, pada tahun 1925, Kwe Tek Hoay dalam surat kabar harian yang dipimpinnya, Sin Bin, menerbitkan serangkaian esai mengenai Sair Siti Akbari karya Lie Kim Hok, yang ia bandingkan dengan Syair Abdul Muluk atau lima tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 1920 dalam majalah Jong Sumatra, Muhammad Yamin menulis esai dengan judul "Sejarah Melayu".
Penyebutan tahun sebagai titik tolak tumbuhnya esai akan semakin mundur ke
belakang apabila kita terus menelusuri surat kabar atau majalah yang pernah terbit di Indonesia. Hal itu menyiratkan bahwa tradisi esai dapat sejalan dengan tradisi surat kabar dan majalah di Indonesia sebab esai sering kali dijadikan salah satu rubrik yang ada dalam kedua media tersebut.
Esai mengenai sastra di Indonesia selanjutnya berkembang tidak hanya dalam media majalah dan surat kabar, melainkan juga di berbagai wadah dan media lainnya. Wadah itu tidak terbatas pada tempat resmi seperti sekolah dan perguruan tinggi, melainkan juga dalam diskusi-diskusi di suatu sanggar atau di rumah seorang esais dan kritikus. Misalnya, hal itu terjadi pada para pengarang generasi majalah Kisah (terbit 1953—1957) di Jakarta dan kelompok PSK (Persada Studi Klub) pada tahun 1970-an di Yogyakarta.
Media elektronik seperti radio dan televisi, meskipun tidak sekerap media cetak, dapat juga menjadi sarana efektif, terutama dalam membicarakan persoalan aktual dalam dunia sastra, tak terkecuali esai sastra. Contoh kongkret esai sastra yang dibacakan di media elektronik adalah pidato-pidato radio yang pernah dibacakan Chairil Anwar di corong radio sekitar tahun 1940-an. Kemudian, dengan kemajuan media elektronik zaman kini, yaitu dengan komputer dan internetnya, manusia dengan mudah dapat menembus dunia informasi tentang berbagai hal, yang sebagiannya dapat dilakukan secara interaktif. Kecanggihan media ini pun sudah tentu dapat dimanfaatkan untuk mengakses segala hal yang berhubungan dengan dunia sastra. Situs demikian, dapat kita sebut, misalnya Cybersastra.
Meskipun telah disebutkan bahwa esai sastra dikenal luas setelah terbitnya majalah Pujangga Baru, esai yang membahas sastra Indonesia modern sudah muncul dalam majalah sebelumnya, yaitu majalah Panji Pustaka pada tahun 1932 yang ditulis oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Esai tersebut, yang berisi tentangi asas-asas dan fungsi kritik sastra, untuk sementara dapat dianggap sebagai esai pertama tentang kritik sastra Indonesia modern.
Apabila kita telaah lebih lanjut, esai Takdir sebenarnya merupakan tanggapan terhadap esai yang dimuat di media lainnya, yaitu surat kabar Suara Umum (terbitan 25 Juni 1932). Fenomena yang demikian, yaitu tersebarnya esai sastra dalam majalah dan surat kabar, masih terjadi hingga saat ini. Kita dapat menyebutkan bahwa buku-buku yang berisi esai sastra Indonesia, kerap kali bersumber dari surat kabar dan majalah. Misalnya, buku-buku tulisan H.B. Jassin seperti Tifa Penyair dan Daerahnya merupakan antologi esai mengenai teori sastra yang berasal dari majalah mingguan Mimbar Indonesia selama tahun 1949. Demikian pula buku Jassin lainnya, seperti Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (jilid I--IV), Analisa, dan Sastra Indonesia dan Perjuangan Bangsa sebagian besar berasal dari surat kabar dan majalah.
Penyebaran esai sastra dalam media surat kabar dan majalah memang tidak selalu terdapat dalam rubrik tetap sebab esai sebagai bentuk penulisan dapat diisi oleh persoalan apa saja. Biasanya, esai sastra akan muncul dalam surat kabar atau majalah yang memiliki wadah khusus, yaitu lampiran kesusastraan atau kebudayaan. Sehubungan dengan itu, kehadiran ruangan kesusastraan, misalnya "Untuk Memajukan Kesusastraan" dalam majalah Panji Pustaka pada tahun 1932 yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana dianggap Jassin sebagai suatu kejadian yang penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia sebab fungsinya sebagai wadah pembinaan kesusastraan Indonesia telah diteladani oleh surat kabar dan majalah yang terbit kemudian, seperti "Gelanggang" (lampiran kebudayaan majalah Siasat), "Persada" (Kompas), "Lentera" (Bintang Timur), dan "Genta" (Merdeka). Lampiran kebudayaan yang masih dapat kita baca dewasa ini, misalnya “Bentara” dalam Kompas atau"Khazanah" dalam surat kabar Pikiran Rakyat .
Fenomena lain mengenai pemunculan esai dewasa ini tampak dalam buku-buku antologi puisi, antologi cerpen, dan antologi kritik atau esai sastra itu sendiri. Esai-esai tersebut biasanya berfungsi sebagai pengantar buku atau catatan penutup. Misalnya, dalam antologi puisi Asmaradana karya Goenawan Mohamad terdapat esai penutup dari A. Teeuw dengan judul "Membikin Abadi yang Kelak Retak"; dalam kumpulan esai karangan Emha Ainun Nadjib, Terus Mencoba Budaya Tanding, terdapat esai pengantar dari Halim H.D. dengan judul "Fenomena Emha".
Untuk kepentingan didapatnya sosok tradisi sastra Indonesia, maka penelitian yang utuh dan menyeluruh perlu dilakukan, misalnya dengan meneliti esai sastra di berbagai wadah dan media, baik yang pernah maupun yang sedang berkembang di Indonesia. Terlebih-lebih, kebijakan pers dari pemerintah pun memberikan iklim yang kondusif sehingga media cetak maupun media elektronik menjadi wilayah strategis untuk penelitian tradisi esai sastra kita.
Namun sebelum kita beranjak lebih jauh mengenai esai sastra di surat kabar dan majalah, tampaknya kita juga perlu menyinggung satu istilah lain yang kadang-kadang sulit dibedakan dengan esai sastra, yaitu kritik sastra. Kesulitan ini tampaknya disadari oleh kritikus besar kita, H.B. Jassin, sehingga dalam bukunya, Kesusastraan Indonesia dalam Kritik dan Esai, ia tidak membedakan dengan tegas mana tulisan dalam bentuk esai dan mana dalam bentuk kritik.
Dalam awal pertumbuhannya di Indonesia, esai dan kritik sastra memiliki kaitan yang sangat erat, bahkan Jassin mengawali tulisan mengenai kritik dengan kalimat, “Salah satu jenis esai ialah kritik”.
Dalam kerangka teoretis, misalnya Wellek (1978) dalam Concepts of Criticism membatasi bahwa kritik sastra merupakan studi karya sastra secara konkret dengan penekanan pada segi evaluasinya. Kritik sastra, bersama dengan sejarah dan teori sastra, merupakan cabang dari ilmu sastra, yang memiliki jalinan yang sangat erat. Teori sastra mempelajari prinsip, kategori, dan kriteria sastra, sedangkan kritik sastra dan sejarah sastra adalah studi karya-karya konkret. Meskipun demikian, teori sastra hanya dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra; sebaliknya, kritik sastra dan sejarah sastra tidak mungkin terwujud tanpa pemanfaatan seperangkat teori sastra.
Dalam awal perkembangannya, kritik sastra di Indonesia dianggap sebagai tulisan yang tidak pantas untuk diteladani. J.E. Tatengkeng, misalnya, dalam majalah Pujangga Baru terbitan tahun 1935 tampak rikuh ketika memberikan kritik terhadap puisi, sehingga dia harus berpanjang lebar menerangkan maksudnya. Dia menganggap, “kritik…dalam kalangan manapun selalu merusakkan, mematikan, berarti caci maki”. Oleh sebab itu, Tatengkeng lebih suka menggunakan istilah “penyelidikan” daripada isilah kritik. Peristiwa itu dapat menunjukkan bahwa kritik sastra di Indonesia belum mentradisi sebagai suatu kegiatan ilmiah dan akademis, terlebih-lebih sebagai salah satu bagian dari studi sastra. Dengan demikian, hal yang wajar ketika masyarakat merasakan perlu adanya orang-orang yang dapat menyaring karya sastra yang baik, tugas itu diembankan kepada penerbit dan wartawan karena pada waktu itu istilah “kritikus” belum berterima. Hal itu juga menandakan bahwa sistem kritik sastra pada saat itu belum dikenal di Indonesia.
Sungguhpun demikian, masyarakat nusantara sebenarnya bukan tidak mengenal dan tidak menerapkan kritik pada karya sastranya. Kritik sastra terdapat juga dalam kesusastraan nusantara, meskipun dalam bungkus yang berbeda. Walaupun oleh orang Indonesia atau Melayu kata kritik dianggap kasar, mereka tidak asing dengan kata “tegur”, “timbang”, “nilai”, “pandangan”, “pendapat”, “ulas”, “ukur”, dan “taksir”. Kata-kata tersebut tidak hanya termaktub dalam tulisan tentang sastra, melainkan juga dalam tradisi lisan, seperti peribahasa, pantun, syair, dan bidal.
Pemahaman kritik sebagai salah satu cabang dari studi sastra sebetulnya pun telah dirintis oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam majalah Panji Pustaka yang telah kita sebut itu (terbitan 5 Juli 1932), dia menguraikan fungsi atau guna kritik sastra. Akan tetapi, karena tulisan tersebut bersifat teoretis dan sang penulis tidak melanjutkan dengan praktik penerapannya, maka kritik sastra tersebut berlalu tanpa respons dari pembacanya.
Kritik sastra baru berterima dan memasyarakat berkat tulisan-tulisan H.B. Jassin, yang sekitar tahun 1940-an menulis di berbagai media massa, khususnya surat kabar dan majalah, mengenai sastra beserta ulasan-ulasannya. Tulisannya itu, kemudian diterbitkan ke dalam empat jilid buku, yang telah kita singgung di atas, yaitu Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai. Dalam judul buku tersebut tampak keeratan antara kritik dan esai sastra. Seperti telah dikatakan di atas, meskipun Jassin memunculkan kata esai dan kritik, dalam buku tersebut kedua kata itu tidak dibedakan dalam pembahasan. Hal itu mungkin karena Jassin berprinsip bahwa kedua kata itu memang tidak berbeda dari tataran isi, melainkan hanya dari tataran subordinasi, yaitu kritik bagian dari esai. Apabila uraian ini kita kaitkan dengan penjenisan esai, maka pendapat Jassin sesuai dengan pendapat Encyclopedia Americana yang memasukkan esai yang demikian ke dalam esai kritik.
Kini kritik sastra tidak asing lagi terdengar di telinga sebab kurikulum sekolah telah memperkenalkan konsep kritik sesuai dengan pemahaman studi sastra modern. Sebab lain adalah bertambahnya wawasan kesastraan kita yang terbentuk karena bacaan yang ditulis oleh para pakar sastra yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, khususnya di fakultas sastra.
Namun, satu hal penting yang harus selalu kita ingat adalah fungsi utama kritik, yaitu memajukan dunia sastra kita. Tiga puluh enam tahun yang lalu, Ali Sadikin, ketika itu Gubernur DKI Jaya, mensponsori pendirian majalah Budaya Jaya dengan menantang penulis dan redakturnya untuk tidak hanya menulis kritik sastra melainkan juga mengkritik pemerintah. Bang Ali yakin pada saat itu, “Hanya dengan kritik…kita dapat maju!”

Tidak ada komentar: