PUISI DAN PEMBELAJARANNYA
oleh Drs. Sumiyadi, M.Hum.
1. Antara Kajian, Kritik, dan Apresiasi Puisi
Puisi adalah salah satu genre sastra. Genre sastra lainnya adalah prosa fiksi dan drama. Oleh sebab itu, pembahasan berikut yang berkaitan dengan kajian, kritik, dan apresiasi puisi berlaku juga untuk prosa fiksi dan drama.
Kajian, Apresiasi, dan kritik puisi memiliki hubungan yang sangat erat karena ketiganya merupakan tanggapan terhadap puisi. Kajian puisi adalah kegiatan mempelajari unsur-unsur dan hubungan antarunsur puisi dengan bertolak dari pendekatan, teori, dan dengan cara kerja tertentu (Aminuddin, 1995:39). Kegiatan “mempelajari” dalam pemahaman yang bersifat keilmuan adalah “menganalisis”. Inti dari kegiatan mengkaji adalah menganalisis.
Sementara itu, kritik puisi dalam pemahaman awalnya adalah penilaian atau pertimbangan baik atau buruk terhadap karya puisi dengan memberikan alasan-alasan mengenai isi dan bentuk puisi tersebut (Jassin, 1991: 95). Jadi, kekuatan dan kelemahan puisi harus ditunjukkan dengan alasan-alasan yang adekuat. Alasan yang adekuat akan didapat dengan menganalisis unsur-unsur dan kaitan unsur puisi. Singkatnya, dalam kegiatan kritik, selain terdapat aspek penilaian, terkandung juga kegiatan menganalisis. Kegiatan kritik puisi yang ideal, selain menghadirkan kedua aspek di atas, ditambah dengan aspek interpretasi. Pradopo (1995:93) menegaskan bahwa aspek-aspek pokok kritik puisi adalah analisis, interpretasi (penafsiran), dan evaluasi atau penilaian.
Apa kaitannya antara kajian, kritik, dan apresiasi puisi? Apresiasi puisi adalah kegiatan menggauli karya puisi secara sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap puisi (Effendi, 2002). Kata menggauli atau mengakrabi biasanya berkaitan dengan hubungan sosial, misalnya kita berusaha mempererat hubungan dengan teman atau tetangga baru. Oleh sebab itu, apresiasi puisi pun seyogianyalah apabila dipahami sebagai usaha mempererat hubungan antara kita sebagai pembaca puisi dan karya puisi itu sendiri sehingga terjalin hubungan yang bersifat emosional, imajinatif, dan intelektual.
Hubungan sosial kita dengan teman atau tetangga dapat berada pada posisi sangat akrab, dapat juga sebaliknya. Begitu pula dalam apresiasi puisi. Jadi, apresiasi itu keadaannya bertingkat-tingkat dari yang terendah hingga yang tertinggi. Apresiasi tingkat pertama terjadi apabila kita mengalami pengalaman yang tertuang di dalam karya puisi. Kita terlibat secara imajinatif, emosional, dan intelektual dengan karya puisi. Apresiasi tingkat kedua terjadi apabila daya intelektual kita bekerja lebih giat, misalnya dengan mencermati karya puisi sebagai sebuah bangunan utuh yang di dalamnya terdiri atas paduan unsur-unsur. Apabila kita menyadari pula bahwa ada kaitan antara karya puisi dengan aspek-aspek di luarnya, misalnya dengan mengaitkannya pada aspek kehidupan, maka kita telah sampai pada tingkat tertinggi (Rusyana, 1980).
Berdasarkan penjelasan mengenai apresiasi, kita dapat menyimpulkan bahwa kajian dan kritik puisi merupakan kegiatan apresiasi juga, namun bertitik berat pada daya intelektual. Apabila kita dapat mengkaji dan mengkritik sastra, maka hal itu menunjukkan bahwa kita telah memiliki kompetensi puisi khususnya kemampuan kognitif. Apabila setelah mengkaji dan mengkritik puisi itu terjadi perubahan sikap dalam diri kita, misalnya kita menjadi orang yang peka terhadap perasaan orang lain, maka kita telah sampai pada kompetensi afektif puisi. Dengan demikian, titik berat dari apresiasi terletak pada pengembangan sikap dan nilai kita terhadap karya puisi.
2. Pendekatan dalam mengapresiasi, mengkaji, dan mengkritik Puisi
Pembahasan dalam tulisan ini akan memanfaatkan kerangka teori yang dikemukakan oleh Donald Keesey (1994). Sesuai dengan judul buku yang ditulisnya, Context for Criticism, Keesey memang tidak membahas pengkajian puisi secara khusus, melainkan pada kritik sastra. Meskipun demikian, berdasarkan penjelsan di atas, ada keterkaitan antara kritik, kajian, dan apresiasi.
Menurut Keesey (1994), dalam mengkaji atau memahami kritik sastra secara sistematis kita memerlukan skema konseptual. Skema itu dapat membantu kita dalam mendefinisikan, menganalisis, dan membandingkan konteks yang beragam sesuai dengan interpretasi kritikus pada saat mengkaji, mengkritik, atau mengapresiasi karya puisi. Bentuk diagram dari skema Donald Keesey itu adalah sebagai berikut:
PENGARANG
é
ê
REALITAS çè
KARYA SASTRA (PUISI) çè
KESUSASTRAAN LAIN
é
ê
PEMBACA
Pada diagaram tampak bahwa puisi berada di pusat dan diapit oleh garis vertikal dan horisontal. Garis vertikal mempersatukan pengarang dengan pembaca dan menunjukkan garis komunikasi yang mendasar. Melalui garis vertikal kita dapat mengetahui bahwa sumber pemaknaan puisi terletak pada manusia, yaitu pengarang dan pembaca; bukan pada kata-katanya. Pemahaman semacam ini melahirkan dua kecenderungan pendekatan dalam mengkaji karya sastra. Kecenderungan pertama akan memperhatikan kesadaran dan ketidaksadaran pengarang, serta seluruh lingkungan sosial, politik, dan intelektualnya sebagai penentu makna puisi. Kecenderungan kedua beranggapan bahwa makna puisi yang sesungguhnya merupakan hasil atau akibat dari interaksi antara pembaca dan puisi yang dibaca. Jadi, kecenderungan kedua bertentangan dengan kecenderungan yang pertama: apabila yang pertama berpusat pada kausalitas atau sebab-musabab kelahiran pisi, maka yang kedua berpusat pada efek puisi.
Garis horisontal pada diagram tampak mengacu pada dua konteks yang sangat berbeda. Konteks yang pertama adalah realitas, kenyataan, kebenaran, atau kehidupan yang ditiru puisi, sedangkan konteks yang kedua justru yang menunjukkan konteks yang berada jauh dari realitas kehidupan, yaitu puisi atau karya sastra lainnya . Dengan demikian, ada pengkajian puisi yang mendekati karya satra dengan realitas atau kehidupan di luar seni dan mengukur keakuratan dan kebenaran tokoh, tindakan, dan latar yang ditampilkan dalam puisi bedasarkan konteks tersebut. Sebaliknya, ada juga pengkajian puisi yang mendekatkan diri pada konteks puisi sebagai keseluruhan yang berada di luar realitas. Para pengkaji dan kritikus yang cenderung pada konteks ini berpendapat bahwa karya apapun mesti dipahami melalui analogi dengan karya-karya lainnya yang menggunakan konvensi serupa. Singkatnya, bagi kritikus ini puisi tidak meniru kehidupan, melainkan meniru puisi atau karya sastra lainnya. Kini kita sampai pada pendekatan yang cenderung pada konteks puisi itu sendiri. Menurut pandangan kritikus ini, makna yang sesungguhnya berada pada kata-kata, khususnya pada penataan kata-kata. Mereka berusaha menemukan koherensi puisi, yaitu dengan menunjukkan bagaimana bagian-bagiannya dipadukan untuk menciptakan keutuhan yang kompleks, namun berpadu secara indah. Jadi, kritikus ini bertugas untuk menjawab, bagaimana puisi itu bermakna dan bukan apa makna yang terkandung dalam puisi itu. Berdasarkan tugas yang diemban kritikus ini, maka sangat beralasan apabila mereka menolak pemisahan bentuk dengan makna karena menurut mereka, bentuk adalah makna itu sendiri.
Ringkasnya, dari skema Keesey yang akan dijadikan kerangka dalam tulisan ini, kita dapat mengelompokkan lima kecenderungan pndekatan, sesuai dengan konteks yang menjadi orientasinya, yaitu konteks pengarang, konteks pembaca, konteks realitas, konteks puisi atau karya sastra itu sendiri dan konteks puisi atau karya sastra lainnya.
Kecenderungan konteks pendekatan apabila dikaitkan dengan studi kritik yang mendasarinya akan menampakkan jenis pengkajian puisi yang sesuai dengan kecenderungan konteks masing-masing. Menurut Keesey, konteks pengarang akan menjadi wilayah pengkajian kritik historis atau genetik, konteks pembaca akan menjadi wilayah kritik respons pembaca, konteks realitas akan menjadi wilayah kritik mimetik, konteks karya sastra itu sendiri akan menjadi wilayah kritik formal, dan konteks karya sastra lainnya akan menjadi wilayah kritik intertekstual. Kritik intertekstual dalam praktiknya sering kali berhimpitan dengan istilah yang lebih luas, yaitu kritik struktural, pascastruktual, dan semiotik.
GENETIK/HISTORIS
é
ê
MIMETIK çè
FORMAL çè
INTERTEKSTUAL
é
ê
RESPONS PEMBACA
3. Praktik Pengkajian Puisi dengan Pendekatan Intertekstual Model Semiotik
Pada bagian berikut akan dipraktikkan salah satu pendekatan di atas, yaitu pendekatan intertekstual dengan model semiotik terhadap puisi Indonesia karya Sutardji Calzoum. Pemilihan puisi Sutardji berrdasarkan pertimbangan bahwa puisinya telah menjadi fenomena baru dalam perkembangan khazanah sastra Indonesia. Fenomena Baru itu tampak dari pengucapan puisinya yang bernuansa mantra. Sebagai puisi modern, puisi-puisi Sutardji tentu saja berwujud sastra tulis. Akan tetapi, untuk kepentingan pengucapan puisinya, Ia “menaburkan ruh” mantra, yang bersumber dari tradisi puisi lama atau sastra lisan. Sutardji sendiri menulis dalam kredo puisinya bahwa menulis puisi baginya adalah mengembalikan puisi pada mantra (1981 : 14).
Karena seni hasil tradisi lisan tak dapat dipisahkan dari seni pertunjukan (Teeuw, 1994), pemaduan seni itu dengan seni modern yang tradisi tulis menimbulkan konsekuensi-konsekuensi tertentu. Misalnya, kita dapat melihat bahwa keutuhan puisi Sutardji akan tampak secara optimal ketika dibacakan secara lisan, khususnya oleh penyairnya sendiri. Akan tetapi, puisi bukanlah untuk penyairnya saja. Sebagai karya sastra, puisi boleh dibaca oleh siapa saja , yang demikian puisi dapat hadir dengan interpretasi yang berbeda-beda, bergantung pada pengalaman atau ground pembacanya. Karena puisi yang polyinterpretable itulah, pengarang tidak dapat menjadi penafsir tunggal bagi puisi-puisinya.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk menginterpretasikan salah satu puisi Sutardji yang berjudul “Belajar Membaca”. Akan tetapi, interpretasi penulis akan dipumpunkan pada wujud puisi sebagai sastra tulis. Meskipun demikian, potensi sastra lisan yang terdapat dalam puisi itu tidak akan diabaikan. Potensi itu akan disinggung juga sejauh menunjang pembahasan pada wujudnya sebagai sastra tulis. Puisi “Belajar Membaca” selengkapnya adalah sebagai berikut.
BELAJAR MEMBACA
Kakiku luka
Luka kakiku
Kakikau lukakah
Lukakah kakikau
Kalau kakiku luka
Lukakaukah kakiku
Kakiku luka
Lukakaukah kakiku
Kalau lukaku lukakau
Kakiku kakikaukah
Kakikaukah kakiku
Kakiku luka kaku
Kalau lukaku lukakau
Lukakakukakiku lukakaukakikaukah
Lukakakukaikaukah lukakakukakiku
1979
3.1 Teori Semiotika
Tulisan ini akan menggunakan pendekatan semiotik; jadi, teori yang digunakan pun adalah teori semiotika. Semiotika adalah ilmu tentang tanda, cara kerjanya, penggunaannya, dan apa yang kita lakukan dengannya ( Zaimar, 1990; Zoest, 1993 ).
Pembahasan tentang tanda awalnya bersumber dari dua orang pakar semiotika, yaitu Charles Sanders Peirce (1839—1914) dan Ferdinand de Saussure (1857 – 1913). Kedua pakar itu meskipun sezaman, hidup ditempat yang berbeda dan bertolak dari ilmu yang berbeda pula. Dengan demikian, wajar saja apabila terminologi yang digunakan keduanya pun berbeda.
Pierce bertolak dari filsafat atau logika dan menggunakan istilah semiotika sebagai padanan kata untuk logika. Menurut Pierce logika mempelajari cara bernalar dan sesuai dengan hipotesisnya, penalaran dilakukan melalui tanda-tanda. Menurut pierce juga, berdasarkan hubungan tanda dengan acuan atau denotatumnya, tanda terbagi menjadi tiga : ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang terjadi karena hubungan kemiripan ( topologis, diagramatis, atau metaforis ). Indeks adalah tanda yang terjadi karena adanya kedekatan eksistensi, dan simbol adalah tanda yang terjadi karena hubungan yang bersifat konvensional (Zoest, 1993).
Saussure bertolak dari linguistik. Menurutnya, bahasa haruslah dipelajari sebagai sistem tanda. Dia pun memikirkan nama untuk ilmu tanda yang ia beri nama semiologi. Dia memperkirakan bahwa semiologi, bila suatu saat hadir, akan menunjukkan kepada kita terdiri dari apa saja tanda-tanda itu dan hukum atau kaidah apa saja yang mengaturnya. Linguistik hanyalah suatu bagian dari ilmu semiologi itu. Dengan demikian, hukum yang akan ditemukan oleh semiologi akan dapat diterapkan juga pada linguistik (Saussure, 1988: 82-83). Menurutnya juga, tanda merupakan gabungan antara penanda dan petanda. Penanda adalah citra akustis sedangkan petanda adalah konsep. Penanda dan petanda merupakan dua unsur yang bersifat padu sehingga tidak dapat dipisahkan. Pemisahan hanya dapat dilakukan untuk kepentingan analisis (Saussure, 1988:14).
Menurut Zaimar (1991), analisis semiotik terhadap karya sastra sebaiknya dimulai dengan analisis bahasa dan menggunakan langkah-langkah seperti dalam tataran linguistik wacana. Langkah pertama adalah dengan menganalisis aspek sintaksis. Dalam puisi analisis aspek sintaksis dapat berupa analisis satuan linguistik. Adapun yang dijadikan pedoman analisis dalam tulisan ini adalah Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia dan Pedoman EYD. Langkah kedua adalah dengan menganalisis aspek semantik. Analisis aspek semantik dalam puisi dapat berupa analisis denotasi, konotasi, majas, dan isotopi. Namun, tulisan ini akan memumpunkan perhatian pada isotopi untuk sampai pada penemuan motif dan tema puisi. Analisis isotopi akan berpedoman pada konsep Greimas (dalam Zaimar, 1991). Kemudian, langkah ketiga adalah analisis aspek paragmatik atau pengujaran. Pengujaran terlakasana dalam rangka komunikasi yang menuntut kehadiran pengirim (penutur/pencerita) dan penerima /pendengar/pembaca (Zaimar, 1990).
3.2 Pengkajian Model Smiotik Puisi “Belajar Membaca” Karya
Sutardji Calzoum Bachri
3.2.1 Analisis Aspek Sintaksis
Puisi “Belajar Membaca” terdiri atas lima belas larik dan masing-masing larik terdiri atas dua sampai dengan delapan kata. Dengan melihat jumlah larik dan kata-katanya itu, kita dapat mengelompokkannya ke dalam puisi pendek. Kemudian, apabila memperhatikan kata-katanya lebih lanjut, kita akan mendapat kesan bahwa selain pendek puisi itu pun sangat sederhana karena hanya terdiri atas tiga kata yang diulang-ulang, yaitu kata kaki, luka, kaku. Yang lainnya adalah pronomina persona pertama (-ku-) dan persona kedua (kau-), partikel –kah, dan subordinatif kalau, yang juga mendapatkan pengulangan.
Yang menarik dan perlu kita perhatikan dalam puisi itu adalah susunan frasa atau kata-katanya. Larik ke-2 (luka kakiku) merupakan pengulangan larik ke-1 (kakiku luka), akan tetapi dengan susunan terbalik (inversi), pembalikan susunan terdapat pula dalam larik ke-3 dan ke-4, larik ke-10 dan ke-11, dan larik ke-14 dan ke-15.
Selain pembalikan, dalam puisi itupun terdapat penggabungan kata yang dilakukan tanpa jarak spasi. Menurut EYD (Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan) pronomina persona pertama (-ku-) dapat berlaku baik sebagai proklitika maupun enklitika; jadi apabila digabingkan dengan kata lain baik di depan maupun di belakangnya, tidak menjadi masalah (misalnya, pada larik ke-6: lukakukah). Akan tetapi, pronomina persona kedua (kau-) yang seharusnya hanya dapat berlaku sebagai proklitika, dalam puisi itu berlaku juga sebagai enklitika (larik ke-8: lukakaukah). Selain itu, kata luka dan kaku yang dalam larik ke-12 dipisahkan oleh spasi, dalam larik ke-14 dan ke-15 digabung tanpa spasi.
Untuk memahami fenomena di atas, tampaknya kita perlu memahami terlebih dahulu setiap fungsi kata dalam puisi itu . Akan tetapi, penelaah fungsi kata hanya dapat dilakukan pada tataran kalimat. Pertanyaan kita kini, dapatkah setiap kata dalam puisi itu dianggap sebagai kalimat sehingga dengan demikian, kita dapat menghitung berapa jumlah kalimat yang terdapat dalam puisi itu? Dari segi formal, jelas kata-kata dalam puisi itu tidak memenuhi syarat penanda kalimat. Dalam wujud tulisan berhuruf latin, kalimat harus dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru (Depdikbud, 1988:256).
Walaupun demikian, usaha penentuan kalimat belumlah sampai kejalan buntu. Jalan masih ada karena kita sedang menghadapi teks sastra yang cenderung melakukan deotomatisasi atau defamiliarisasi terhadap bahasa komunikasi sehari-sehari. Selain itu, dalam bagian latar belakang telah disinggung bahwa puisi-puisi Sutardji bernuansa dengan mantra yang hakikatnya adalah sastra lisan. Tarik- menarik antara sastra tulis dan sastra lisan dalam puisi itu membuat kita perlu melihat juga ciri penanda kalimat dalam wujud lisan. Dalam wujud lisan kalimat diiringi oleh alunan titi nada, disela oleh jeda diakhiri oleh intonasi final, kemudian diikuti oleh kesenyapan (Depdikbud, 1988:254). Jika kita membaca dengan melisankan kata-kata yang ada dalam puisi itu akan terasalah bahwa sebenarnya susunan kata-katanya memiliki ciri penanda kalimat. Menurut hemat penulis, apabila kita merekonstruksi larik-larik puisi ke dalam bentuk kalimat, maka kalimat-kalimat yang terdapat dalam puisi itu terdiri atas 12 kalimat: 14 kalimat berita dan 8 kalimat tanya. Agar memudahkan kita untuk mengenali kalimat-kalimat yang terdapat dalam puisi itu, di bawah ini akan dikutip puisi “Belajar Membaca” setelah dibubuhi ciri penanda kalimat dalam wujud tulis dan kata-katanya dikembalikan pada susunan yang lazim sesuai dengan kaidah EYD:
BELAJAR MEMBACA
Kakiku luka.
Luka kakiku.
Kaki kau lukakah?
Lukakah kaki kau?
Kalau kaki kau luka,
lukakukah kaki kau?
Kakiku luka.
Luka kaukah kakiku?
Kalau lukaku luka kau,
kakiku kaki kaukah?
Kaki kaukah kakiku?
Kakiku luka kaku.
Kalau lukaku luka kau,
luka kaku kakiku luka kaku kaki kaukah?
Luka kaku kaki kakukah luka kaku kakiku?
Berdasarkan uraian di atas, kini kita dapat menganggap bahwa larik ke-1: kakiku luka merupakan kalimat yang memiliki fingsi S-P (Subjek-Predikat). Larik pertama itu mendapatkan inversinya pada larik ke-2 : luka kakiku, yang memiliki fungsi P-S (predikat-subjek). Fenomena kalimat inversi ini dapat kita hubungkan dengan konsep Van Zoest (dalam Sudjiman, 1991 : 14). Dalam kalimat bahasa Indonesia berlaku gradasi menurun ( gradation descendante ) yang menunjukan bahwa sesuatu yang lebih penting didahulukan. Dengan demikian, posisi mempunyai makna dalam wacana. Bila fenomena ini kita hubungkan dengan pembagian tanda menurut Peirce, posisi itu termasuk ke dalam ikon diagramatik karena memiliki kemiripan dengan posisi yang menjadi denotatumnya.
Bila ditinjau dari nilai komunikatifnya, larik ke-1 dan ke-2 termasuk kedalam kalimat berita atau deklaratif. Larik ke-1 menyatakan atau memberitakan bahwa kakiku luka (bukan tanganku, kepalaku atau anggota badan lainnya). Jadi, kaki sebagai anggota badan mendapat penekanan atau pementingan. Akan tetapi, posisi itu dibalik pada larik ke-2 menjadi luka kakiku; jadi yang ditekankan atau informasi yang dipentingkan adalah kondisi kakiku yang luka (tidak sehat atau cedera). Pada larik ke-3 dan ke-4, ke-10 dan ke-11, ke-14 dan ke-15 juga demikian. Akan tetapi, hal ini terjadi pada kalimat tanya atau interogatif. Pembahasan mengenai kalimat tanya ini akan dilanjutkan pada analisis aspek pragmatik karena menyangkut pembicara dan pendengar.
Dalam larik-larik puisi tersebut terdapat juga penggabungan kata tanpa spasi, misalnya kakikau, lukakaukah, kakikaukah lukakau, luka kakukakikaukah. Akan tetapi, penggabungan tanpa spasi ini tidak sampai membingungkan kita sebab masih berada pada frase atau kelompok kata masing-masing. Jadi, kakikau adalah kaki kau atau lukakakukakiku adalah luka kaku kakiku. Penggabungan seperti itu hanyalah berefek menyulitklan kita dalam membaca sebab harus mengenali dulu kata per kata yang digabung. Namun apabila kita hubungkan dengan tanda menurut Peirce, maka penggabungan ini sebenarnya juga memiliki kemiripan dengan denotatumnya, yaitu makna prosesif (milik). Misalnya, kakikau = kaki milik kau.
Bila kita meninjau kembali puisi itu secara keseluruhan, terdapat tanda bahwa puisi dapat dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian yang pertama adalah larik ke-1 sampai ke-6, bagian kedua larik ke-7 sampai ke-11, dan bagian ketiga larik ke-12 sampai ke-15. Penanda yang penting adalah larik ke-1, ke-7, dan ke-12, yang ketiganya merupakan kalimat berita. Bagian kedua dan ketiga merupakan pengulangan bagian pertama, namun secara bertahap mendapatkan pembalikan, penggabungan, dan penambahan kata sehingga bagian ketiga tampak lebih kompleks apabila dibandingkan dengan bagian kedua. Demikian juga bagian kedua tampak lebih rumit apabila dibandingkan dengan bagian pertama. Apabila kita tinjau dari segi bentuk kalimat, mula-mula diperkenalkan kalimat tunggal yang hanya terdiri atas kalimat inti, kemudian kalimat tunggal itu ditambah dengan unsur partikel, dan akhirnya ditambah dengan unsur kalimat inti lainnya sehingga membentuk kalimat majemuk (dari satu klausa kemudian menjadi dua klausa yang bersubordinat kalau).
Apabila pembalikan, penggabungan, dan penambahan kompleksitas kalimat itu dihubungkan dengan judul, apa yang dapat kita petik ? Judul merupakan tanda yang termasuk indeks bagi teks karena merupakan nama teks puisi yang bersangkutan. Dalam teori membaca, untuk sampai pada tahap membaca kritis, kita harus terlebih dahulu dapat membaca pemahaman dan membaca harfiah; pada tahap mendasar, seorang anak haruslah mampu membaca nyaring atau melafalkan bacaan. Kemudian, apabila kita memperhatiakn kembali bentuk atau tipografi puisi itu, tampak juga ikon teks bacaan yang ditujukan untuk anak yang baru belajar membaca.
Dengan demikian, judul “Belajar Membaca” tampaknya cukup tepat bagi puisi yang kita analisis.
3.2.2 Analisis Aspek Semantik
Dalam menganalisis aspek semantik, pertama-tama akan dilakukan analisis komponen makna kata yang terdapat dalam puisi. Kemudian, analisis dilanjutkan dengan penemuan isotopi untuk sampai pada penemuan motif sehingga dengan demikian, tema puisi kemungkinkan besar dapat ditemukan.
Setelah menelaah makna kata per kata yang ada dalam puisi ( dengan berpedoman pada Kamus Besar Bahasa Indonesia ), maka didapatlah komponen makna berikut:
kaki
· anggota tubuh
· bagian ( benda ) paling bawah
· alat untuk berjalan
luka
· belah
· pecah
· cedera
· menderita
· lecet
kaku
· keras
· kejang
· cedera
· berhentinya aktivitas
belajar
· berusaha
· berlatih
membaca
· melihat
· mengetahui
· memahami
· mengeja / melafalkan
· mengucapkan
· menduga / meramalkan
Berdasarkan daftar di atas, kini kita dapat menemukan kelompok isotopi untuk setiap kata dalam puisi, yaitu isotopi manusia, isotopi kesakitan, dan isotopi usaha:
Isotopi Manusia
· kaki ( ku / kau ) ( 17 kali )
· luka ( ku / kau ) ( 17 kali)
· kaku ( 5 kali )
· belajar
· membaca
Isotopi Kesakitan
· luka ( 17 kali )
· kaku ( 5 kali )
Isotopi Usaha
· belajar
· membaca
Baberdasarkan kelompok isotopi di atas, tampalah bahwa isotopi manusialah yang sangat menonjol, kemudian disusul berturut-turut oleh isotopi kesakitan dan isotopi usaha. Ketiga isotopi ini juga mendukung tiga motif, yaitu motif manusia, kesakitan, dan usaha. Berdasarkan motif-motif inilah kita sampai pada tema puisi, yaitu usaha manusia dalam merasakan kesakitan sesama manusia lainnya.
3.2.3 Analisis Aspek Pragmatik
Dalam puisi itu terdapat dua pronomina persona, yaitu aku dan kau. Pronomina persona itu dapat memberikan petunjuk kepada kita bahwa dalam puisi itu terdapat dua subjek komunikasi, yaitu si penutur dalam, dalam hal ini si aku lirik, dan si pendengar. Siapa yang diajak bicara, sulitlah untuk mengetahuinya sebab hanya disapa dengan kata kau. Yang menonjol adalah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh si aku lirik kepada kau. Akan tetapi, pertanyaan itu timbul setelah ada suatu kesadaran bahwa yang dijadikan pertanyaan itu adalah apa-apa yang terjadi dalam diri si aku lirik, misalnya kakiku luka kemudian kakikau lukakah, atau kakiku luka kaku kemudian luka kaku kakiku luka kaku kaki kaukah. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa si aku selalu ingin menyamakan apa yang dirasakan dirinya terhadap kau. Akan tetapi, dalam puisi itu kau hanya berperan sebagai pendengar saja, tanpa beraksi. Bahkan, akhir larik puisi pun berhenti dengan pertanyaan, luka kaku kaki kaukah luka kaku kakiku ?. Jadi, sampai akhir puisi, si aku lirik tidak atau belum yakin bahwa kau sebagai pendengarnya memiliki kesamaan dalam rasa (sakit).
3.2.4 Simpulan
Dari analisis aspek sintaksis didapatkan bahwa pengulangan, kembalikan, penggabungan tanpa spasi, dan penambahan kompleksitas kalimat sangat dekat hubungannya dengan judul “Belajar Membaca”. Tipografi puisi pun merupakan ikon terhadap teks bacaan untuk anak-anak. Kemudian, dalam analisis aspek semantik di temukan tema puisi, yaitu usaha manusia dalam merasakan kesakitan sesama manusia lainnya. Akhirnya, dalam analisis pragmatik atau pengujaran, tampak antara penutur dan pendengar tidak atau belum terjalin hubungan komunikasi yang lancar.
Berdasarkan uraian di atas, sampailah penulis pada sebuah interpretasi bahwa makna yang terdapat dalam puisi “Belajar Membaca” adalah usaha manusia dalam menyamakan rasa sakit terhadap manusia lainnya. Akan tetapi, usaha itu memang belum mencapai titik final sebab masih dalam taraf “belajar”. Tampaknya, si penutur mengharapkan komunikasi yang ideal di antara sesama manusia. Hal itu akan tampak nyata mana kala kita tahu bahwa persoalan yang dikemukakan penutur bersumber dari sebuah sabda Nabi Muhammad SAW, yaitu “perumpamaan orang muslim/ mukmin dalam saling mencintai, menyayangi, dan menaruh rasa simpati adalah apabila salah satu anggotanya sakit, maka seluruh tubuhnya akan merasa sakit pula” (Hadist Riwayat Bukhori). Jadi, puisi ”Belajar Membaca” berintertekstual dengan teks keagamaan, dalam hal ini adalah hadits Nabi Muhammad SAW.
4. Pergelaran Puisi
Pembahasan di atas tampak ilmiah karena menitikberatkan pada kompetensi kognitif. Uraian berikut akan menitikberatkan pada kompetensi psikomotor yang perlu dikuasai siswa SMA, yaitu keterampilan dalam mengekspresikan puisi secara lisan dan ragawi, yang biasa disebut dengan pergelaran puisi. Wujud pergelaran puisi dapat berupa baca puisi, rampak puisi, dramatisasi puisi, dan musikalisasi puisi.
4.1 Baca Puisi
4.1.1 Baca Puisi, Deklamasi, dan Transaksi
Istilah "baca puisi" (poetry reading) sudah akrab di telinga kita. Untuk meluncurkan antologi puisinya, penyair sering kali mengadakan acara baca puisi sebelum kritikus mengulasnya. Acara hari-hari besar, seperti HUT RI, Hari Pahlawan, atau acara penarik simpati dan solidaritas terkadang juga diisi dengan baca puisi. Selain itu, acara khusus yang bersifat kompetisi pun sering kali diselenggarakan.
Akan tetapi, perdebatan acap kali muncul manakala baca puisi dikaitkan dengan istilah lainnya, yaitu "deklamasi". Kedua istilah itu ada yang membedakannya secara hitam putih sehingga muncul fenomena yang aneh: baca puisi adalah berdiri mematung dengan teks puisi di tangan serta berusaha tidak bergerak dan deklamasi adalah membaca puisi yang telah dihafal dengan tambahan gerak artifisial. Apakah pembedaan itu memang demikian?
Memang harus kita akui, pemahaman orang terhadap kedua istilah tersebut belumlah sama. Mursal Esten (1987) dan Erizal Gani (1989) menganggap deklamasi dan baca puisi merupakan fenomena seni yang berbeda.
Dalam membedakan kedua istilah itu, biasanya orang langsung menghubungkan dengan kiprah Rendra sepulang dari Amerika. Baca puisi, katanya, merupakan oleh-oleh Rendra dari Negeri Paman Sam, yang langsung menggilas tradisi deklamasi di tanah air. Padahal, Rendra sendiri tidak membedakan kedua istilah itu. Bahkan, di Barat pembedaan baca puisi tidak dihubungkan dengan, deklamasi, melainkan dikontraskan dengan puisi oral (oral poetry). Menurut Preminger (1974:967--970), baca puisi merupakan tradisi baru, yaitu tradisi masyarakat yang telah mengenal dunia baca-tulis atau keberaksaraan, sementara puisi oral sebaliknya, yaitu tradisi masyarakat yang masih berada dalam dunia keniraksaraan.
Apabila kita telaah permasalahannya lebih dekat, tampaknya baca puisi dan deklamasi merupakan dua istilah yang mengacu kepada pengertian yang sama, yaitu membaca puisi atau mengomunikasikan puisi kepada para pendengarnya. Suharianto (1982:46) membatasi bahwa hakikat baca puisi tidaklah berbeda dengar deklamasi, yaitu menvampaikan puisi kepada penyimaknya dengan setepat-tepatnya agar nilai-nilai puisi tersebut sesuai dengan maksud penyairnya. Akan tetapi, batasan itu perlu kita persoalkan: bagaimana cara menyampaikan puisi yang sesuai dengan maksud penyairnya? Apakah betul baca puisi mesti objektif sehingga memuncuikan objective poetry reading? Rendra menolak anggapan ini sebab menurutnya (Rendra, 1982:89), seorang pembaca puisi mestilah bersikap bebas, spontan, dan sejati.
Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa yang mesti lebih kita pentingkan adalah puisinya; bukan penyairnya. Sebagai apresiator, kita dapat saja membacakan puisi sesuai dengan pengalaman kita. Hal itu dimungkinkan karena tidak ada yang dapat menjamin bahwa setiap puisi merupakan pengalaman autentik penyair. Dalam teori resepsi sastra (Junus, 1985:6) diungkapkan bahwa seorang penyair tidak mungkin secara konsekuen dapat menuliskan apa yang ingin dikatakannya sebab aktivitas manusia, terlebih-lebih yang bersifat kreatif, acap kali dikuasai oleh sesuatu yang tidak disadarinya (dalam teori psikoanalisis Freud, disebut dengan istilah bawah sadar).
Dengan demikian, yang mesti terjadi dalam baca puisi adaiah proses “transaksi" antara pembaca dan puisi yang dibacanya. Namun, perlu kita ketahui bahwa dalam setiap transaksi terjadi tawar-menawar dan saling memberi harga. Transaksi sastra pun demikian. Akan tetapi transaksi sastra berbeda dengan transaksi jual beli di pasar sebab berada dalam wilayah pengalaman. Puisi, umumnya karya sastra, selalu berhubungan erat dengan pengalaman, baik yang autentik maupun imajinatif. Meskipun demikian, perlulah digarisbawahi bahwa karya sastra bukanlah sekedar kumpulan atau gabungan dari pengalaman; sastra hanyalah suatu penyebab yang memunculkan pengalaman (Wellek, 1989:185] lebih jauh, Rosenblatt (Gani 1988:2) menyatakan bahwa sastra mestilah merupakan transaksi aktivitas jiwa pembaca dengan karya sastra.
Makna puisi diciptakan, dibentuk, dan diwujudkan sebagai hasil dari pembacaan. Jadi, pembaca mestilah mampu menentukan hubungan antara pengalamannya dan cipta sastra yang dibacanya (Probst dalam Gani, 1988:2). Dengan demikian, wajar saja jika Sutardji Calzoum Bachari (sebagai penyair dan pembaca puisi) merasa lebih pas apabila puisinya, yaitu “Kucing”, dibaca oleh seniman Adi Kurdi. Demikian pula, Nirwan Dewanto pernah meminta peserta lomba untuk membacakan kembali puisinya yang berjudul "Cinta adalah Terorr”.
4.1.2 Baca Puisi sebagai Seni Penghayatan
Baca puisi sebagai satu bentuk seni, tentunya dapat dipelajari seperti halnya seni rupa, seni lukis, seni tari, dan seni musik. Meskipun demikian, ada juga orang yang masih berpendapat bahwa dalam membaca puisi kita tidak perlu melatih atau mengotah vokal, mimik (ekspresi wajah), dan pantomimik (ekspresi seluruh tubuh). Menurutnya, puisilah yang akan menuntun dan memampukan pembaca dalam melakukan semua itu. Namun, pendapat itu menyimpang dari hakikat seni yang berlabel estetis. Memang, dalam aktivitas hidup, kita dengan mudah dapat melakukan kebutuhan biologis, seperti makan, minum, berjalan, berlari, duduk, berteriak, tertawa, menangis, atau diam membatu. Akan tetapi, manakala semua aktivitas biologis itu kita tampilkan di depan pentas dan ke hadapan penonton, semua itu tidak alamiah lagi sebab yang kita tampilkan adalah sekedar meniru kehidupan (mimesis). Bukankah hakikat puisi juga demikian?
Bahasa puisi yang cenderung memadat dan memusat dilakukan penyair secara sadar. Sebagai bukti, tidak semua orang dapat mengungkapkan gejolak jiwanya melalui puisi. Tanpa terampil mengutak-atik kata sehingga tercipta diksi, imaji. dan simbol yang tepat, orang tak mungkin dapat menulis puisi dengan baik. Demikian juga, hanya dengan mengolah vokal, mimik, pantomimik , dan imajinasilah orang dapat membaca puisi secara puitis. Dengan kesiapan peralatan suara dan tubuhnya, pembaca dimungkinkan dapat menghayati puisi yang dibacanya. Apabila pembaca dapat menghayati puisi, transaksi pengalaman akan terbungkus dengan estetika seni, dalam hal ini, seni baca puisi. Mungkin saja pembaca telah mencoba mengadakan transaksi pengalaman, namun karena tidak atau belum memiliki pembungkus, maka pembacaan puisinya akan tampak telanjang, naif, serta artifisial.
Stanislavski (1980) telah mengelompokkan empat fenomena seni yang tampak dalam pemeranan. Kita tidak bermaksud menyamakan antara seni peran dan baca puisi, namun pengelompokan yang dilakukan oleh Stanislavski sangat relevan dengan seni yang kita maksud. Keempat kelompok itu adalah seni mekanis, seni penyajian, seni eksploitasi, dan seni penghayatan.
Seni mekanis merupakan seni yang lapuk dan cenderung artifisial. Misalnya, pembaca puisi beranggapan bahwa kata-kata tertentu telah disimbolkan dengan cara tertentu pula. Dalam membaca larik-larik puisi Tuhanku/ Dalam termangu/ Aku masih menyebut namamu/ (penggalan puisi “Doa" karya Chairil Anwar), pembaca melakukannya seperti berikut.
Tuhanku: kepala tengadah ke langit dan tangan menyalib di dada;
Dalam termangu: kepala miring dan pipi menyandar pada satu telapak tangan;
Aku masih: menepuk atau menunjuk dada;
menyebut namamu: tengadah ke langit sambil mengacungkan telunjuk.
Apabila cara di atas kita praktikkan, tampaknya lebih nikmat melihat anak-anak (yang penuh keluguan) menirukan gerakan orang dewasa daripada sebaliknya.
Seni penyajian serupa dengan seni "seorang dalang". Pembaca puisi yang menggunakan seni ini akan senantiasa meniru sang dalang (pelatihnya) dalam ucap, sikap, dan tindakannya sehingga yang hadir dalam pembacaan puisi adalah Gatotkaca dan Arjuna atau Si Cepot dan Dewala (bergantung dalangnya). Padahal, semua tidak memiliki ruh sebab semua dilakukan sesuai dengan kreativitas sang dalang.
Seni eksploitasi dilakukan oleh pembaca yang amat sadar dengan kelebihan dirinya. Oleh karena itu, dia berusaha menonjolkan kelebihannya, meskipun tidak dituntut dalam pembacaan puisinya. Misalnya, si pembaca melenggak-lenggokkan tubuhnya seperti penari Bali (karena memang ia seorang guru tari). Padahal, puisi yang dibacanya adalah "Krawang-Bekasi". Jurus tari awalnya variasi, namun karena terlalu asyik, akhirnya menjadi dominasi.
Seni yang terakhir adalah seni penghayatan. Seni penghayatan timbul dalam diri pembaca. Pengalaman hidup pembaca yang terekam dalam bawah sadarnya akan terseleksi sesuai dengan transaksi yang terjadi berkat pembacaan puisinya. Jadi, setiap kata akan diucapkan sesuai dengan penghayatannya. Kata merdeka mungkin diteriakkan secara lantang; mungkin juga dibisikkan secara lirih. Orang yang menangis belum tentu mengekspresikan kesedihan. Demikian pula orang yang tertawa belum tentu karena sedang bahagia. Semua dapat mungkin dalam pembacaan puisi. Namun, semua itu mesti dilakukan secara estetis dan artistik: tidak naif dan artifisial. Masalah seni penghayatan ini akan kita uraikan lebih lanjut pada saat membahas latihan dasar drama.
4.1.3 Dasar-Dasar dan Beberapa Petunjuk dalam Baca Puisi
Apabila kita menyaksikan orang membaca puisi, adegan itu sebenarnya hanya merupakan tahap akhir yang tampak ke permukaan. Kualitas tahap akhir ini sebenarnya bergantung pada tahap-tahap sebelumnya yang dapat kita sebut tahap dasar. Menurut Aritonang (1990), dasar-dasar puisi itu mencakup olah vokal, olah musikal, olah sukma, olah mimik, olah gerak, dan wawasan kesastraan. Apabila dasar-dasar ini telah kita kuasai, selanjutnya kita akan sampai pada proses pembacaan. Dalam proses pembacaan inilah kita berusaha mencapai kualitas baca puisi secara optimal. Hal itu dapat dimungkinkan apabila kita mengikuti tahap pembacaan sebagai berikut:
a. membca dalam hati (agar puisi tersebut terapresiasi secara penuh);
b. membaca nyaring (agar pembaca dapat mengatur daya vokal, tempo, timbre, interpolasi. rima, irama, dan diksi),
c. membaca kritis (dengan mengoreksi pembacaan sebelumnya: segi-segi apa yang masih kurang dan bagaimana cara mengatasinya);
d. membaca puitis.
Untuk sampai pada pembacaan puisi yang kita idam-idamkan, yaitu membaca puitis, kita dapat juga mengikuti petunjuk yang disarankan oleh Mursal Esten (1987):
a. perhatikanlah judul puisi;
b. lihatlah kata-kata yang dominan;
c. selamilah makna konotatif;
d. dalam mencari dan menemukan makna, yang benar adalah makna yang sesuai dengan struktur bahasa;
e. tangkaplah pikiran yang ada dalam puisi dengan memparafrasekannya;
f. jawablah apa dan siapa yang dimaksud dengan kata ganti dan siapa yang mengucapkan kalimat yang diberi tanda kutip;
g. temukanlah pertalian makna tiap unit puisi (kata demi kata, frase demi frase, larik demi larik, dan bait demi bait);
h. carilah dan kejarlah makna yang masih tersembunyi;
i. perhatikanlah corak dan aliran sajak yang kita baca (imajis, religius, liris, atau epik?);
j. tafsiran kita terhadap puisi mesti dapat kita kembalikan kepada teks puisi itu sendiri.
4.2 Rampak Puisi
Istilah rampak puisi tampaknya hanya dikenal di daerah Jawa Barat sebab merupakan analogi dari rampak kendang. Barangkali istilah ini sepadandengan istilah yang digunakan oleh Rusyana (1982), yaitu "paduan baca" puisi.
Rampak puisi dapat dianggap sebagai varian dari baca puisi sebabpembacanya masih mengandalkan teks puisi. Perbedaannya, apabila baca biasa dilakukan oleh seorang pembaca, rampak puisi lazimnya dilakukan oleh lebih dari satu orang. Selain itu, rampak puisi memiliki beberapa keuntungan. Misalnya, dalam membaca puisi epik atau naratif, pembaca puisi tunggal harus dapat membedakan narasi dan karakter tokoh, sedangkkan dalam rampak puisi,hal itu merupakan tugas bersama. Dalam membaca puisi, sebut saja, "Penangkapan Sukra" secara rampak, kita tinggal menyesuaikan para pembaca dengan karakter tokoh: siapa yang menjadi narator, Sukra, Putra Mahkota, perempuan yang menjerit, dan kelompok koor. Sebagian pembaca dapat juga bertugas memberi efek suara tertentu, seperti suara serigala, kuda, tombak yang dihentakkan, suara batin Sukra. atau suara keramaian orang.
Namun, satu hal yang perlu diperhatikan, rampak puisi tidak perlu memanfaatkan pentas secara optimal. Pembaca puisi hanya berusaha agar pembacaannya puitis dan agar tidak mengganggu pandangan penonton, para pembaca mestilah mengatur posisi bacanya sehingga "enak" dipandang.
4.3 Dramatisasi Puisi
Dalam Kamus lstilah Sastra (1986) suntingan Panuti Sudjiman disebutkan bahwa dramatisasi sepadan dengan istilah "dramaan". Batasan kedua istilah tersebut adalah pengalihan karya sastra, baik puisi, cerpen, dan lainnya menjadi drama. Dengan demikian, dramatisasi puisi dapat berarti "mendramakan puisi". Dalam hal ini, puisi mesti tunduk pada kaidah-kaidah drama. Misalnya, apabila dalam konvensi drama terdapat kramagung/teks samping/petunjuk pengarang dan wawancang/dialog/ cakapan, maka dalam dramatisasi puisi pun demikian. Pendeknya, jika kita akan menampilkan dramatisasi puisi di atas pentas, syarat utama yang harus kita lakukan adalah memahami terlebih dahulu konvensi drama pentas sehingga kita mesti menguasai penataan pentas (skeneri), blocking dan acting yang benar.
Dramatisasi puisi memang mesti bertolak dari puisi. Akan tetapi, agar puisi itu sesuai dengan kaidah pemanggungan, maka seyogianyalah apabila puisi tersebut ditransformasikan terlebih dahulu ke dalam teks drama drama.
4.4 Musikalisasi Puisi
Musikalisasi puisi adalah menggubah puisi menjadi sebuah lagu. Dengan demikian, antara puisi dan musik harus memiliki keselarasan. Sepintas memang tidak terdapat perbedaan antara musikalisasi puisi dan lagu yang diiringi musik. Bukankah lagu juga bersumber dari lirik puisi? Syair atau lirik lagu biasanya dibuat setelah musik tercipta. Namun, dapat juga pemusik menciptakan musik dan lirik lagunya secara bersamaan. Bahkan, Ebiet G. Ade biasa membuat syair terlebih dahulu sebelum menyusun partitur musiknya. Meskipun demikian, tidak ada keharusan bagi pemusik untuk tunduk kepada lirik lagu. Jika perlu, untuk menyelaraskan lirik dengan musik dapat saja kita mengubah atau mengganti kata-kata syair tersebut. Dalam musikalisasi puisi tidaklah demikian. Hal itu disebabkan puisinya sudah tercipta dan merupakan salah satu bentuk seni, yaitu karya sastra. Dengan demikian, dalam musikalisasi, aransemen musik tidak boleh mengubah puisi. Puisi harus tetap utuh. Di sinilah kita dituntut untuk lebih kreatif karena dalam musikalisasi puisi yang ideal, aransemen musik mesti dapat menangkap karakter puisi yang digubah. Misalnya, puisi yang bersuasana muram dan sedih selayaknyalah apabila ditampilkan dalam nada dan irama musik yang bernuansa muram dan sedih pula.
Contoh konkret musikalisasi puisi sebenarnya sudah kita kenali. Misalnya, grup Bimbo pernah menyanyikan lagu "Salju" yang bersumber dari puisi Wing Karjo atau "Sajadah Panjang" yang bersumber dari puisi Taufik Ismail. Akan tetapi, grup Bimbo tidak pernah mengkhususkan diri pada musikalisasi puisi. Puisi-puisi yang mereka gubah barangkali karena dianggap sesuai dengan karakter musik mereka. Contoh yang sangat tepat untuk musikalisasi adalah album kaset Hujan Bulan Juni dan Hujan dalam Komposisi yang diproduksi oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Kedua album ini memang khusus direkam untuk kepentingan musikalisasi puisi-puisi karya Sapardi Djoko Damono.
Untuk kepentingan apresiasi puisi, memusikalisasi puisi dapat dijadikan kegiatan penguatan (reinforcement). Yang penting, Anda memiliki kepekaan rasa sehingga dapat menyelaraskan karakter musik dengan puisi yang kita pilih sebagai lirik lagunya. Kita pun tidak perlu terpaku pada musikalisasi puisi yang telah ada. Misalnya, apabila Anda mengadakan lomba musikalisasi puisi, materi lomba tidak perlu puisi yang sudah dimusikalisasi karena ini akan menimbulkan pemajalan daya kreativitas. Biarkanlah peserta lomba berkreativitas untuk memadukan karakter puisi dengan musik yang dimainkan. Alat musik pun tidak harus selamanya gitar, piano, biola, dan alat musik modern lainnya. Alat musik etnik, seperti rebana, rebab, kecapi, gamelan, gong, dan gendang dapat menghasilkan musikalisasi puisi yang eksotik dan ebih bernuansa warna lokal. Bukankah yang membuat menarik pementasan musikalisasi puisi kelompok Sanggar Matahari Jakarta dan Kiai Kanjeng-nya Emha Ainun Nadjib adalah musik etniknya juga? Kemudian, apabila kita hubungkan dengan karakter puisi Indonesia, unsur-unsur etnik atau warna lokal itulah yang merupakan bagian senyawa yang sulit untuk dipisahkan.
5. Model Pembelajaran Puisi
Model pembelajaran puisi yang akan dicontohkan mengacu pada prosedur yang ditawarkan Moody (1971) dalam bukunya yang berjudul The Teaching of Literature. Model yang disajikan masih belum rinci. Untuk kepentingan pembelajaran yang sesungguhnya, guru harus menyesuaikannya dengan tuntutan kurikulum. Inti dari model Moody terdiri atas enam langkah, yatu (1) pelacakan pendahuluan, (2) penentuan sikap praktis, (3) introduksi, (4) penyajian, (5) diskusi, dan (6) pengukuhan.
5.1 Pelacakan Pendahuluan (Prelininary Assesssment)
Pada tahap ini guru berusaha untuk menyingkap teks puisi sebelum pembelajaran dilakukan. Misalnya, puisi yang akan djadikan bahan pembelajaran adalah puisi konteporer krya Sutardj Calzoum Bachri dengan judul “Tapi”:
TAPI
aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih
aku bawakan resahku padamu
tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu
tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
wah!
(Guru merenung)
Tapi? Mengapa judul puisi ini hanya kata penghubung? Pasti ada sesuatu yang bertentagan dan tidak selaras sehingga penyair mencantumkan judul demikan. Semua bunyi kata dalam puisi tersebut mengandung arti dan penyair mengungkapkannya dengan kalimat dan bahasa yang sederhana. Namun, kesederhanaan itu menjadi rumit karena banyak kata yang diulang-ulang. Tambahan lagi, mengapa setiap laik puisi yang menjorok ke kanan berakhir dengan kata penghubung? Kata “masih”, “hanya” , “meski”, “hampir”, “tapi”, dan “kalau” merupaan kata penghubung yang biasanya diucapkan oleh oang yang belum selesai berbicara atau belum mengakhiri kalimatnya secara sempurna. Ini pasti mengandung ketidakpuasan. Akan tetapi, si aku telah membawa semua miliknya. Namun, mengapa si kau masih saja tampak belum terpuaskan? Siapa sebenarnya si kau ini? Pasti seseorang yang luar biasa. Bahkan, mungkin bukan orang, tetapi Tuhan yang menguasai si aku. Buktinya, si aku telah rela mempersembahkan segala miliknya. Bahkan, si aku tidak peduli kalau yang dipersembahkan itu mayat dan arwahnya. Sungguhpun demikian, pengorbanan si aku tampaknya belum cukup sebab pada bait dan larik terakhir terdapat kata seru “wah” sebagai penanda ketidakpuasan karena si aku tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipersembahkan ke pada si kau. Sungguh tragis puisi ini.
5.2. Penentuan Sikap Praktis (Practical Decisions)
Dalam tahap ini guru mempertimbangkan tingkat kesukaran puisi. Pertimbangan guru hendaknya dikaitkan dengan kompleksitas kebahasaan, latar belakang budaya, dan perkembangan jiwa siswa. Puisi yang akan disajikan tampknya tidak terlalu kompleks dari segi bahasa. Isinya mengandung nilai-nilai religius sehingga tiadak akan bertentangan dengan pengalaman dan perkembangan jiwa siswa.
5.3. Introduksi
Dalam tahap ini guru memberikan pengantar atau apersepsi di depan kelas. Tahap ini sangat bergantung pada kesiapan guru, karakteristik puisi, dan keadaan siswa
(Kata-kata berikut diungkapkan oleh guru di depa kelas degan ekspresi yang tepat)
Anak-anak, seperti yang telah Bapak janjikan minggu yang lalu, kita sekarangakan mencoba menafsirkan sebuah puisi kontemporer. Kalian sudah siap? Bapak perhatikan, tampaknya kalian masih tegang? O, ....tadi kalian telah mengikuti tes Matematika dari Bu Erni, ya? (siswa merespons) Ya.....tetapi sekarang sudah berlalu, bukan? Nah, sekarang tidak perlu tegang lagi. Silakan kalian rileks, tetapi harus tetap berkonsentrasi pada puisi yang akan Bapak bacakan. Puisi ini berjudul...”Tapi” (siswa merespons). Ya...memang judul puisi ini agak janggal. Namun, itulah salah satu ciri dari puisi kontemporer, yaitu menggunakan bahasa secara bebas, bahkan kadang-kadang melanggar kaidah bahasa. Kalian tahu, apa yang dimaksud dengan puisi kontemporer? (siswa merespons) Ya...puisi yang melakukan pembaharuan terhadap puisi sebelumnya. Kalian tahu, siapa penyair puisi kontemporer yang mengaku dirinya sebagai Presiden Penyair Puisi Indonesia (siswa merespons) Kalian tidak tahu? Kalau penyair yang membaca puisinya sambil minum bir? (siswa merespons) Ya, betul, Sutardji Calzoum Bachri. Namun, itu dilakukannya dulu sekali. Sekarang tidak lagi minum bir, malahan ia rajin menjalankan ibadah dan telah pergi ke tanah suci (siswa merespons). Ya...baik, kalian tentu bertanya-tanya, tetapi sekarang bukanlah waktunya untuk bediskusi. Simpanlah dahulu pertanyaan kalian dan cobalah simak puisi yang akan Bapak bacakan ini (Apabila guru belum terampil membaca puisi, langkah lain dapat dilakukan, misalnya dengan memutar kaset, cd, atau vcd pembacaan puisi tersebut yang dilakukan oleh penyairnya atau pembaca puisi lainnya yang dianggap memadai). Kalian dengarkan saja puisi ini! Tidak perlu membaca atau menulisnya. Kalian siap? (siswa merespons, guru membacakan puisi dengan nyaring atau menutar kaset, cd, atau vcd pembacaan puisi tersebut, kemudian siswa menyimaknya)
5.4 Penyajian (Presentation)
Setelah guru selesai membaca puisi atau memutar dokumentasi pembacaan puisi, ada kemungkinan para siswa ingin memberi respons terhadap hasil pembacaan. Akan tetapi, guru tidak perlu melayani dahulu sebab pemahaman siswa tentu berbeda-beda: ada yang telah cukup paham, meskipun pusi baru dibacakan satu kali; ada juga yang hanya dapat menangkapnya secara samar-samar. Guru perlu memberitahukan kepada siswa bahwa kegiatan yang dilakukan terfokus pada pembacaan puisi dan penyimakannya sebab kegiatan diskusi akan dilakukan setelah acara penyajian selesai. Guru dapat membacakan atau memutar ulang pembacaan puisi sekali lagi, kemudian mempersilakan siswa untuk membacanya juga. Dalam pembacaan puisi yang dilakukan siswa, guru tidak perlu memberikan instruksi dan tanggapan. Biarkanlah siswa berkreativitas secara mandiri.
5.5 Diskusi
Kegiatan diskusi sangat bergantung pada program guru, karakteristik puisi, dan respons siswa. Akan tetapi, diskusi yang baik tentu saja harus mengarah pada kompetensi dasar yang telah termaktub dalam kurikulum. Sebagai pemandu diskusi, guru dapat mengarahkan siswa, misalnya dengan pertanyaan-pertanyan berikut: bunyi-bunyi apa saja yang terkandung dalam puisi ini? Apakah setiap bunyi menandung arti bahasa? Apakah terdapat pelanggaran kaidah bahasa yang dilakukan oleh penyair? Majas apa saja yang terdapat dalam puisi “Tapi”? Siapa yang dimaksud aku dalam puisi “Tapi?” Siapa si kau sehingga membuat si aku berteriak wah! Karena tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipersembahkan? Apakah si kau menyiratkan Tuhan yang disembah oleh si aku? Apa yang membuat tragis dalam puisi ini? Bagaimana kesimpulan dari seluruh puisi ini. Apabila guru telah mengajarkan puisi dengan pendekatan tertentu, pertanyaan diskusi hendaknya disesuaikan dengan prinsip pendekatan yang telah diajarkan.
5.6 Penguatan (Reinforcement)
Apabila setelah kegiatan diskusi minat siswa bertambah, kegiatan selanjutnya adalah guru memberikan penguatan atau pengukuhan (reinforcement), misalnya dengan mempersilakan siswa untuk mempersiapkan pergelaran puisi, misalnya dengan membaca puisi secara rampak, mendramatisasi, atau memusikalisasinya. Tentu saja kegiatan pengukuhan ini dapat dipadukan dengan kegiatan ekstrakurikuler atau pentas seni untuk acara tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1995. Stilistika. Semarang: IKIP Semarang Press.
Aritonang, Diro (Peny.). 1989. Puisi-Puisi Islami: Antologi Lomba Baca Puisi.
Bandung: Tabloid Jumatan Salam.
Bachri, Sutardji Calzoum. 1981. O Amuk Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.
Depdikbud. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
___________. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Esten, Mursal. 1987. Sepuluh Petunjuk dalam Memahami dan Membaca Puisi.
Padang: Angkasa Raya.
Gani, Erizal. 1989. "Seni Pembacaan Karya Sastra: Beberapa Catatan."Diktat.
Diterbitkan oleh Jurdiksatrasia FPBS IKIP Padang.
Jassin, H.B. 1991. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung.
Keesey, Donald. 1994. Context for Criticism. California: Mayfield Publishing
Company.
Moody, H.L.B. 1971. The Teaching of Literature. London: Longman Group LTD.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Preminger, Alex (peny). 1974. Princeton Encyclopedia of Poetry and Poetic. New
Jersey: Princeton University Press.
Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Rendra. 1982. Tentang Bermain Drama. Jakarta Pustaka Jaya.
Rusyana, Yus. 1982. Metode Pengajaran Sastra. Bandung : Gunung Larang.
Saussure,Ferdinand de.1988. Pengantar Linguistik Umum. Jakarta: Balai Pustaka.
S. Effendi. 2002. Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Stanislavski. 1980. Persiapan Seorang Aktor. Terjemahan Asrul Sani. Jakarta: Pustaka
Sudjiman, Panuti dan Aart van Zoest, Ed. 1992. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta:
Gramedia.
Suharianto, S. 1982. Berkenalan dengan Cipta Seni. Semarang: Mutiara Permata
Widya.
Sudjiman, Panuti. (Peny). 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.
Sumiyadi. 1992. “Drama sebagai Seni Sastra dan Pertunjukan” dalam Mimbar
Pendidikan Bahasa dan Seni No. XVIII.
_________. 1993. ”Menyoal Baca Puisi” dalam Mimbar Pendidikan Bahasa dan Seni.
No. XX.
Teeuw, A. 1994. Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Balai
Pustaka.
Zaimar, Okke K.S. 1991. Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang. Jakarta:
Intermasa.
_____________. 1991.”Semiotik dan Penerapannya dalam Studi Sastra”. Makalah.
Disampaikan dalam Penataran Sastra tentang Teori dan Aliran-Aliran dalam
Dunia Sastra, yang diselenggarakan oleh Balai Penelitian Bahasa di
Yogyakarta, 25-28 Februari.
_____________. 1992.”Telaah Semiotik dalam Karya Sastra”. Disampaikan dalam
Seminar Semiotika, yang di selenggarakan atas kerja sama Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya LPUI dengan Lingkaran Peminat Semiotik di
Jakarta, 21-22 Desember.
Zoest, Aart van. 1995 Semiotika. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
apa defenisi isotopi pak? atau buku apa yang membahas tentang itu. kebetulan skripsi saya seputar isotopi. sepertinya saya kekurangan di landasan teorinya. mohon bantuannya.
Pak, apakah isotopi harus selalu disertakan pada setiap kajian semiotik?
karena ada beberapa kajain puisi yang memakai kajian semiotik tetapi tidak menyertakan isotopi.
Merkur Slots Machines - SEGATIC PLAY - Singapore
Merkur Slot Machines. 5 바카라 사이트 star rating. The Merkur titanium earrings Casino game was the first to feature video slots https://septcasino.com/review/merit-casino/ in the 1xbet app entire casino, herzamanindir
Posting Komentar